PENGARUH KEPRIBADIAN DAN KEADILAN TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Deskripsi
Konseptual
1. Komitmen
Oraganisasi
Salah
satu pilar dunia pendidikan adalah sekolah. Menurut Hoy dan Miskel, sekolah
merupakan organisasi pelayanan yang
berkomitmen pada pengajaran dan pembelajaran. Sekolah, berbeda dengan jenis
organisasi lainya, harus jadi organisasi pembelajaran (learning organization).[1]Menurut
Senge, Organisasi pembelajaran merupakan tempat di mana peserta didik secara
terus menerus memperluas kecakapanya untuk mencipta dan mencapai, tempat untuk
mendorong pola-pola pemikiran baru, tempat aspirasi kilektif dipejari, tempat
peserta didik belajar bagaimana belajar bersama, dan tempat organisasi
memperluas kecakapanya untuk berinovasi dan memecahkan permasalahan. Sementara
itu Leithwood dan Louis memandang organisasi pembelajaran sebagai tempat di
mana peserta didik mengejar tujuan bersama dengan komitmen kolektif untuk
secara terus menerus mengevaluasi nilai tujuan, melakukan modifikasi agar
sesuai, dan secara berlekalanjutan mengembangkan cara-cara yang lebih efektif
dan efisien untuk mencapai tujuan.[2]
Di
sini terlihat bahwa sekolah sebagai organisasi pembelajaran bukan hanya
berkutat pada urusan pengajaran yang pada umumnya diperankan oleh guru, akan
tetapi lebih dari itu juga menjangkau area pembelajaran dan memungkinkan
individu (peserta didik) memperluas kecakapanya untuk mencipta dan mencapai,
mendorong pola-pola pemikiran baru, aspiratif kolektif dipelajari, belajar
bersama, dan memecahkan masalah, bahkan mengejar tujuan bersama dengan komitmen
kolektif untuk secara kontiniu mengevaluasi nilai tujuan, meakukan modifikasi,
dan secara berkelanjutan mengembangkan cara-cara yang lebih efektif dan efisien
untuk mencapai tujuan. Sekolah sebagai organisasi pembelajaran melibatkan dan
memberikan peluang sebesar-besarnya bagi warga sekolah untuk belajar bersama,
memperjuangkan tujuan bersama-sama, dan akhirnya menikmati hasilnya secara
bersama-sama pula. Dengan demikian, jelaslah kiranya bahwa sekolah merupakan
organisasi yang memerlukan komitmen dari seluruh anggoatanya.
Komitmen
organisasi sebagaimana yang definisikan oleh Colquitt, Lapine dan Wesson, “organizational commitment is the desire on
the part of an employed to remain of the organization.[3]
Komitmen organisasi adalah keinginan yang kuat dari pihak karyawan untuk tetap
menjadi anggota organisasi. Ketika karyawan mempunyai mempunyai keinginan yang
kuat untuk bertahan menjadi anggota organisasi mungkin alasanya karena
menginginkan (want to stay),
membutuhkan (need to stay), atau
merasa berkeharusan (feel ought to stay),
berada dalam atau menjadi bagian dari organisasi.
Komitmen
organisasi akan berpengaruh terhadap sikapnya akan tetap menjadi anggota
organisasi atau keluar dan mencari wadah lain atau pekerjaan lain. Orang yang
meninggalkan organisasi baik secara terpaksa maupun sukarela (voluntary or involuntary turnover)
adalah mereka yang tidak atau kurang memiliki komitmen organisasi. Karyawan yang tidak memiliki
komitmen organisasi yang kuat akan memperlihatkan perilaku yang disebut dengan withdrawal behavior.[4]
Colquitt,
Lepine dan Wesson menyebutkan ada tiga jenis komitmen organisasi, yaitu:
pertama affective commitment merupakan
keinginan kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi karena adanya ikatan
emosional (emotion-based reasons)dengan
sesama karyawan, dan keterlibatan dalam organisasi. Kedua, continuance commitment dijelaskan sebagai keinginan yang kuat untuk
tetap menjadi anggoata organisasi karena adanya kesadaran akan kerugian atau
kehilangan (cost-based reasons) yang
timbul bila meninggalkan organisasi, sehingga perlu merasa bertahan menjadi
bagian dari organisasi. Ketiga, normative
commitment merupakan keinginan kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi
karena merasa berhutang kepada organisasi (obligation-based
reasons) sehingga merasa berkewajiban itu.[5]
Jadi bagi seorang karyawan yang memiliki komitmen organisasi, ia memiliki
keinginan yang kuat untuk tetap bnertahan menjadi anggota organisasi meskipun
alasanya mungkin karena emotion-based
reasons, cost-based reason atau obligation-based
reason.
Shaw,
Delery & Abdulla memandang komitmen organisasi sebagai hasil dari investasi
atau kontribusi terhadap organisasi, atau suatu pendekatan psikologi yang
menggambarkan suatu hal yang positif, keterlibatan yang tinggi, orientasi
intensitas tinggi terhadap organisasi.[6]
Sedangkan Benkhoff melihat komitmen organisasi sebagai derajat kepedulian
karyawan dan kontribusinya terhadap keberhasilan organisasi.[7]
Pandangan
yang tidak jauh berbeda juga disampaikan oleh pakar-pakar yang lain. Newstrom
misalnya menyatakan bahwa komitmen ogranisasi adalah suatu tingkat atau derat
identifikasi diri pegawai denagn
organisasi dan keinginan-keinginanya untuk meneruskan partisipasi aktifnya dalam
organisasi.[8]
Kemudian Bishop, Scott & Burroughs memberikan definisi komitmen organisasi
sebagai kekuatan relative dari identifikasi individu bersama dan keterlibatanya
dengan organisasi.[9]
Sedangkan Lhutans mengatakan:
“organizational commitment is most
often defined as a strong to remain a member of a particular organization; a
willingness to exert high of effort on behalf of the organizion; and a definite
believe in, and acceptance of, the values and goals of the organization.[10]
Jadi menurut Luthans bahwa
komitmen organisasi merupakan suatu hasrat yang kuat untuk tetap menjadi
anggota organisasi; suatu keinginan untuk menunjukan usaha tingkat tinggi atas
nama organisasi; dan keyakinan yang kuat dalam menerima nilai-nilai dan
tujuan-tujuan organisasi. Dengan kata lain
pengertian yang diberikan Lhutans ini merupakan sikap yang merefleksi loyalitas
karyawan terhadap organisasi dan merupakan proses yang berlanjut di mana
anggota organisasi menunjukan kepedulianya kepada organisasi.
Gibson, James L., et.al mendefinisikan komitmen
adalah, “a sense of indecfication,
loyalty, and involvement expresednby an employee toward the organization or
unit of the organization”.[11] Menurut mereka ini
komitmen terhadap organisasi mencakup tiga sikap: (1) rasa keberpihakan kepada
tujuan organisasi, (2) perasaan keterlibatan dengan tugas-tugas organisasi, (3)
persaan loyal terhadap organisasi. Ditegaskan pula bahwa tidak adanya komitmen
akan dapat mengurangi efektivitas kerja organisasi.
Slocum dan Hellriegel memberikan definisi komitmen
organisasi dengan mengatakan bahwa, “organizational
commitmentbis the strength of an employee’s involvement in the organization and
identification with it”.[12] Komitmen organisasi
adalah kuatnya keterlibatan karyawan di dalam organisasi dan keberpihakan
kepada organisasi.
Karyawan atau anggota yang bertahan lebih lama dengan
organisasi cenderung memiliki komitmen lebih dibangdingkan dengan karyawan atau
anggota yang hanya bekerja dalam kurun waktu yang lebih pendek. Komitmen
organisasi yang kuat lazim ditandai dengan beberapa hal, seperti: (1)
penerimaan dan dukungan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi, (2)
bersedia berusaha sekuat tenaga atas nama organisasi, (3) keingina yang kuat
untuk tetap menjadi bagian dari organisasi.
Berdasarkan uraian definisi dan pengertian dari para
ahli di atas, dapat disintesiskan komitmen organisasi adalah keinginan kuat
dari karyawan atau anggota organisasi untuk tetap menjadi anggota atau bagian
dari sutu organisasi dengan menunjukan sikap kepedulian, keterlibatan
yang tinggi, orientasi intensitas tinggi,
dan loyalitas terhadap organisasi guna mewujudkan tujuan organisasi.
2. Kepribadian
Kepribadian merupakan bagian dari kehidupan manusia
yang sangat penting vdan vital, tetapi juga sekaligus kompleks sehingga
dipersepsi oleh para pakar secara beragam pula.
Menurut Alport mendefinisikan kepribadian, “personality is dynamic organization whitin individual of
those psychophysical systems that determine his unique adjustments to his
environment”. Kepribadian adalah organisasi dinamis dari sistim-sistem
psikofisik di dalam diri manusia yang turut membentuk pola prilaku, pikiran dan
perasaan seseorang secara unik atau khas dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungan.[13]
Dari definisi tadi Carver dan Scheiver mencatat enam hal penting terkait dengan
kepribadian, yaitu: (1) kepribadian bukanlah kumpulan dari potongan-potongan,
tetapi memiliki organisasi, (2) kepribadian tidak hanya berada dalam satu
tempat namun memiliki beberapa jenis proses, (3) meskipun sebagai konsep
psikologis, namun kepribadian tidak dapat dipisahkan dari fisik tubuh, (4)
kepribadian merupakan kekuatan penyebab yang membantu mementukan bagaimana
seseorang berhubungan dengan dunia, (5) kepribadian muncul dari pola-pola
berbeda antar individu yang bersifat tumbuk kembali dan konsisten, dan (6)
kepribadian tidak hanya nampak dalam satu cara, tetapi dalam banyak cara, yaitu
dalam prilaku, tindakan dan perasaan.[14]
Bani Passer dan Smith, kepribadian adalah cara
berpikir, merasakan dan bertindak yang berbeda dab bertahan relative lama yang
mencirikan tanggapan seseorang terhadap situasi hidup. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa pikiran, perasaan, dan tindakan tersebut terlihat sebagai refleksi dari
kepribadian individu yang secara khusus memiliki tiga kharakteristik. Pertama,
kepribadian terlihat sebagai kemampuan perilaku dan identitas yang berbeda
antara yang satu dengan yang lainya. Kedua, perilaku dipandang sebagai suatu
hal yang lebih disebabkan oleh lingkungan internal dibanding lingkungan
eksternal. Ketiga, perilaku seseorang nampak mempunyai organisasi yang
terstruktur.[15]
Menurut McKeenna, kepribadian berisikan kualitas
fisik, mental, moral dan social dari individu, kualitas-kualitas tersebut
bersifat dinamis dan terintegrasi, yang dapat diamati oleh orang lain dalam
kehidupan sehari-hari. Kepribadian yang meliputi sifat-sifat alamiah individu
dan dorongan-dorongan kebiasaan, kepentingan, sentiment, ide-ide, dan
keyakinan-keyakinan yang diproyeksikan ke dunia luar.[16]
Pandangan lain tentang kepribadian dikemukakan oleh
Ciccarelli dan Mayer, kepribadian adalah cara seseorang yang unik dan relative stabil dalam berpikir dan
bertindak.[17]
Dari berbagai batasan pengertian dan definisi di atas
tampak bahwa kepribadian merefleksikan kualitas fisik, mental, moral dan social
individu yang dinamis dan terintegrasi yang termanifestasikan dalam cara
berpikir, mersakan dan bertindak secara unik dan stabil yang mencirikan
seseorang terhadap kondisi kehidupan.
Kepribadian seseorang dapat diukur, menurut Passer dan
Smith ada lima metode yang dapat digunakan untuk menilai kepribadian seseorang,
yaitu: 1) wawancara (interviews), 2)
penilaian perilaku (behavioral assessment),
3) sampel perilaku jarak jauh (remote
behavior sampling), 4) skala kepribadian (personality scales) dan 5) penyujian proyektif (projevtive test).[18]
Kepribadian juga dibagi ke dalam lima dimensi. Dalam
Faktor Model kepribadian (The five
Factors Model Of Personality). Dalam teori ini dijelaskan dimensi
kepribadian antara lain :
Pertama, surgensi (surgency) yang sering
disebut juga sebagai dimensi kepercayaan diri, kebutuhan uintuk berkuasa dan
dinamis. Seperti halnya pola perilaku yang sering muncul ketika seseorang
mencoba untuk mempengaruhi atau mengendalikan orang lain, maka individu yang
memiliki surgensi tinggi atau bersikap ramah, vepat mengambil keputusan, penuh
pengaruh dan percayua diri.
Kedua, keramahtamahan (agreeableness) yang juga
dikenal dengan istilah empati, keakraban, sensivikasi interpersonal atau
kebutuhan berafiliasi. Dimensi ini berhubungan dengan bagaiman keguanaan
seseorang mendapatkan pergaulan yang akrab dengan orang lain, yang merupakan
lawan dari keinginan untuk mendapatkan yang terdepan.
Ketiga, dapat dipercaya (dependability) yang
disebut juga dengan kekonsistensian atau kesadaran. Dimensi ini tidak hanya
melibatkan interaksi dengan orang lain, tetapi lebih berhubungan dengan pola
perilaku ynag terkait dengan pendekatan sesorang dengan pekerja.
Keempat, penyesuaian (adjustment) dikenal juga
dengan Neorotikisme, stabilitas emosional atau kendali diri. Dimensi
kepribadian ini berhubungan dengan bagaimana reaksi seseorang terhadap stress,
kegagalan, atau kritisisme pribadi.
Kelima, keterbukaan terhadap pengalaman (openness
to experience) dikenal juga dengan kecerdasan, kengintahuan, dan pendekatan
pembelajaran.[19]
Dalam literatur lain dijelaskan pula The Big Five
Dimention of Personality dimensi kepribadian meliputi:
a. Conscientioness
atau kesadaran, yaitu sejauhmama kesadaran individu memiliki keinginan untuk
bekerja keras, disiplin, dapat dipercaya dan tekun.
b. Extraversion atau
ekstraversi adalah derajat asertivitas kemauan bersahabat dan kemampuan untuk
bersosialisasi antar vindividu.
c. Agreeableness atau
keramahtamahan, yaitu tingkat kerjasama dan kehangatan individu.
d. Emotional stability atau stabilitas emosi adalah derajat ketenangan, kepercayaan diri dan
rasa aman.
e. Openness to experience atau keterbukaan terhadap pengalaman, yaitu tingkat
kreatifitas, keingintahuan dan kebudayaan.[20]
Selain itu terdapat pula dimensi kepribadian lain dari
Eysenck atau dikenal dengan eysenck’s Approach. Dimensi ini terbagi
dalam dua kategori yang masing-masing berpasangan, yaitu introversi-ektroversi
(intaversion-extraversion) dan emosionalitas-stabilitas (emotionality-stability)
atau disebut pula dengan neorotikisme. Eysenck menekankan bahwa individu
memiliki kecxendrungan eksrovert tetapi memiliki emosi stabil akan menghasilkan
kepribadian soaibilitas, ramah, banyak bicara, responsive, mudah bergaul,
lincah, peduli dan berjiwa pemimpin.[21]
Dari berbagai uraian definisi dan pengertian di atas,
maka dapat disintesiskan kepribadian adalah refleksi kualitas fisik, mental,
moral dan social individu yang dinamis dan terintegrasi, yang termanifestasikan
ke dalam cara berpikir, merasakan dan bertindak secara unik dan stabil yang
mencirikan seseorang terhadap kondisi hidup yang meliputi aspek-aspek:
kesadaran (conscientiousness),
ekstraversi (extravertion),
keramahtamahan (agreeableness),
stabilitas emosional (emotional stability)
dan keterbukaan terhadap pengalaman (opinnese to experience).
3. Keadilan
Keadilan
yang dibicarakan di sini adalah keadilan yang terdapat dalam organisasi, yaitu
yang biasa disebut dengan organizational
justice. Keadilan di sini meliputi seluruh sisi dari imbalan yang dimaksud:
psikologi, sosial
dan ekonomi.
Menurut
J. Stacy Adam’s dalam teori
kepatuhan dalam Newstrom bahwa
karyawan cenderung menilai
keadilan dengan membandingkan yang mereka terima dengan masukan (inputs) yang mereka berikan dan juga
dengan membandingkan antara rasio outcomes
berbanding inputs yang
dimilikinya dengan yang dimiliki orang lain. Newstrom juga menjelaskan bahwa inputs mencakup berbagai elemen yang
dimiliki dan diberikan oleh karyawan terhadap pekerjaanya seperti: pendidikan,
senioritas, pengalaman kerja, loyalitas dan komitmen, waktu dan tenaga, dan
kinerja (inputs include all the rich and
diverse elements that employees believe they bring, or contribute, to the
job-their education, seniority, pior work experience, loyality and commitmet,
time and effort, creativity, and job performance). Sedangkan outcomes lanjut Newstrom, adalah imbalan
yang diperoleh dari pekerjaan dan “boss” yang meliputi gaji dan bonus, keuntungan
tambahan, keamanan kerja, imbalan yang bersifat social, dan imbalan yang
bersifat psikologis.[22]
Menurut Robbins dan Judge keadilan adalah, “organizational justice is the overall
perception of what is fair in the workplace, composed of distributive, procedural,
and interactional justice”.[23] Jadi keadilan merupakan
persepsi secara keseluruhan dari apa yang dipandang adil di tempat kerja, yang
terdiri dari keadilan distributive, keadilan procedural dan keadilan
interaksional.
Keadilan distributif menjadi hal prtama yang
diperhatikan ketika terjadi pengalaman atau situasi ketidakadilan, di mana
ketidakadilan ini umumnya dalam hal upah dan pendapatan-pendapatan lainya.
Meskipun apa yang dipandang “adil” berbeda dari orang dan situasi yang berbeda.
Keadilan prosedural dipengaruhi oleh aturan-aturan
struktural dan aturan-aturan sosial. Aturan-aturan struktural mempresentasikan
kebijakan-kebijakan dan kebiasaan-kebiasaan yang harus diikuti oleh pengambil
keputusan. Aturan sosial berhubungan dengan seberapa baik pembuat keputusan
memperlakukan karyawan. Ada dua kata kunci yang berkaitan dengan keadilan
sosial, yaitu respek dan akuntabilitas.
Luthans mendefinisikan keadilan adalah merupakan
pengembangan dari Equity Theory (teori
kepatutan) yang mengisyaratkan bahwa seseorang haruslah memperoleh imbalan
secara proporsional sesuai dengan kontribusinya. Sedikit berbeda dengan Robbins
dan Judge, ia mengemukakan ada empat jenis keadilan, yaitu keadilan distributif
(distributive justice), keadilam
prosedural (procedural justice),
keadilan interpersonal (interpersonal
justice), dan keadilan informasional (informational
justice).
Colquitt, Lepine dan Wesson menggambarkan keadilan
dengan mengatakan:
“justice reflects the perceived
fairness of an authority’s decision making. When employees perceive high levels
of justice, they believe that decision outcomes are fair and that decision
making processes are designed and implemented in a fair manner. Justice concepts
van be used to explain why employees judge some authorities as more trustworthy
that others”.[24]
Lebih jauh lagi Colquitt, Lepine dan Wesson
menjelaskan bahwa kerap kali sulit untuk mengukur kompetensi, watak, dan
kebaikan dari pemegang otoritas dengan akurat terutama sekali pada periode awal
hubungan kerja. Dalam keadaan seperti itu yang diperlukan oleh karyawan adalah
semacam bukti perilaku yang bisa diamati yang menunjukan seorang pemegang
otoritas dapat dipercaya. Karyawan dapat menilai adilnya pengambilan keputusan
yang dilakukan pemegang otoritas melalui empat dimensi keadilan: keadilan
distributif, keadilan prosedural, keadilan interpersonal, dan keadilan
informasional.
Menurut Robbins dan Judge, keadilan distributif adalah
keadilan yang memiliki hubungan yang paling kuat dengan komitmen organisasi.
Keadilan prosedural berhubungan erat dengan kepuasan kerja, kepercayaan
karyawan, dan kinerja. Sementara untuk keadilan interaksional tidak terdapat
bukti yang cukup.[25] Oleh karena itu maka
keadilan yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini hanyalah keadilan
distributif.
Berdasarkan beberapa konsep di atas dapat
disintesiskan bahwa keadilan organisasi adalah persepsi seseorang terhadap
kejujuran atau keadilan yang dilakukan oleh pemegang otoritas di dalam
pengambilan keputusan tentang outcomes
yang diperolehnya.
B.
Kerangka
Teoretik
1.
Kepribadian dan Komitmen Organisasi
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Chang da Lee mendapatkan
bahwa sifat-sifat kepribadian positif (conscientiousness,
extraversion, neuroticism, agreeableness dan openness to experience)
memiliki hubungan yang signifikan engan komitmen organisasi.[26]
Penelitian lain juga dilakukan oleh Morrison yang menyimpulkan bahwa dimensi
kepribadian ekstraversi dan keramahtamahan memiliki hubungan positif dengan
komitmen organisasi.[27]
Dari uraian diatas, dapat diduga bahwa
terdapat pengaruh langsung
positif kepribadian terhadap komitmen organisasi.
2.
Keadilan dan Komitmen
Organisasi
Keadilan merupakan
persepsi secara keseluruhan dari apa yang dipandang adil di tempat kerja,
terutama yang menyangkut pengambilan keputusan tentang pendistribusian outcomes
seperti dalam pembagian upah, pemberian penghargaan, evaluasi, pembagian tugas
dan pemberian promosi. Sementara komitmen organisasi adalah keinginan dari
seseorang untuk tetap menjadi anggota atau bagian dari organisasi karena adanya
ikatan emosional yang kuat dengan organisasi.
Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Qolquitt, Lepine dan Wesson bahwa komitmen organisasi
dipengaruhi oleh beberapa factor, diantaranya adalah keadilan yang dapat mempengaruhi secara langsung terhadap
terbentuknya komitmen organisasi.[28]
Dari uraian diatas, dapat diduga bahwa
terdapat pengaruh langsung
positif keadilan terhadap komitmen
organisasi.
3.
Kepribadian dan Keadilan
Kepribadian adalah
refleksi kualitas fisik, mental, moral dan social individu yang dinamis dan
terintegrasi, yang termanifestasikan ke dalam cara berpikir, merasakan dan
bertindak secara unik dan stabil yang mencirikan seseorang terhadap kondisi
hidup yang meliputi aspek-aspek: kesadaran (conscientiousness),
ekstraversi (extravertion),
keramahtamahan (agreeableness),
stabilitas emosional (emotional stability)
dan keterbukaan terhadap pengalaman (opinnese to experience). Sementara
keadilan adalah persepsi seseorang terhadap kejujuran atau keadilan yang
dilakukan oleh pemegang otoritas di dalam pengambilan keputusan tentang
outcomes yang diperolehnya.
Keadilan adalah efek
yang dihasilkan dari sikap dan perilaku seseorang yang bersumber dari kesadaran
individual seseorang atau yang disebut sebagai kepribadian. Hal ini juga
dipertegas dalam teori yang dikemukakan oleh Qolquitt, Lepine dan Wesson yang
mengatakan bahwa keadilan dipengaruhi secara langsung oleh kepribadian.[29]
Dari uraian diatas, dapat diduga bahwa
terdapat pengaruh langsung
positif motivasi terhadap disiplin kerja.
C.
Hipotesis
Penelitian
Berdasarkan deskripsi konseptual
dan kerangka teoretik diatas,
maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat pengaruh langsung
positif Kepribadian terhadap
Komitmen Organisasi.
2. Terdapat langsung
positif Keadilan terhadap Komitmen
Organisasi.
3. Terdapat pengaruh langsung positif Kepribadian dan Keadilan.
[1] Wayne K. Hoy & Cecil G. miskel, Educational Administration: Theory, Research
and Practice (New York: McGraw Company, 2008), hh. 33-34.
[2]
Ibid., hh. 33-34
[3] Jasson A. Colquitt, Jeffery A. Lepine &
Michael J. Wesson, Organizational
Begavior: Improving, Performance and Commitment in the Workplace (New York:
McGraw-Hill, 2009), h. 67.
[4] Ibid., h.
67.
[5] Ibid.,
hh. 67-68.
[6] Shaw, Delery & Abdulla, “Oranizational
Comitment and Performance Among Guest Workers and Citizets of Arab Country,” Journal of Business Research, 56,2003,
h. 2.
[7] Benkhoff, “Ignoring Comitment Is Costly: New
Appoarches Estabilish the Missink Link Between Organizational Comitmen and
Performance,” Human Relation, 50,
(6), 1997, h. 3.
[8] Jhon W. Newstrom, Organization Behavior: Human Behavior at Work, 12ᵗᵗʰ edition
(Boston: Mcgraw Hill, 2007), h. 207.
[9] Bishop, Scott & Burroughs, “Suport
Comitment and Employee Outcomes in a Team Enviroment,” Journal Management, 26 (6), 2002, h. 2.
[10] Fred Lhutans, Organizational Behavior, 11ᵗᵗʰ
(Boston: McGraw-Hill, 2008), h. 147-148.
[11] Jams L Gibson, et.al, Organizations: Behavior, Structure, Processes, Twelve Edition
(Boston: McGraw-Hill Irwin, 2006), h. 184.
[12] Jhon W. Slocum, Jr. dan Don Hellriegel, Principles of Organizatioal Behavior (New
York: South-Western, 2009), h. 57.
[13] Charles S. Carver & Michael F. Scheiver, Perspectiva on Personality (Boston:
Person Education, Inc., 2008), h. 5.
[14] Ibid.,
h. 5
[15] Michael W. Passer & Ronald E. Smith, Psychology: The Science of Mind and Behavior
(New York: McGraw-Hill, 2007), h. 442.
[16] McKenne, Eugene, Business and Psychology: Organizational Behavior (New York:
Psychology Press, 2006), h. 28.
[17] Sandra K. Ciccarelli & Glena E. Mayer, Psychology (New Jersey: Prentice Hall,
2006), h. 444.
[18] Michael W. Passer & Ronald E. Smith, . hh.
479-482.
[19]
Hugles, Ginnett & Curphy, Leadership : Enhacing the Lessons of
Experience (New York: McGraw-Hill Companies, Inc., 2009), h. 205.
[20]
Jerald Greenberg dan Robert A. Baron, Behavior In Organizational (New
Jersey: Prentice Hall, 2003), h. 85.
[21]
H. 50.
[22] Jhon W. Newstrom, Organization Behavior: Human Behavior at
Work, 12ᵗᵗʰ edition (Boston: Mcgraw Hill, 2007), h. 120.
[23] Robbins and Judge, Organizational (ghjjjjjdjjyd), p. 229.
[24] Colquitt, lepine dan Wesson, op.
cit., h. 219.
[25] Robbins and Judge, op.cit., h. 230.
[26]
Su-Chao Chang & Ming-Shing Lee, “Relationships
Among personality Traits, Job Characteristies, Job Setisfaction and
Organizational Commitment: an Empirical Study in Taiwan,” The Business
Review (Cambridge, Hollywood: Dee 2006. Vol. 6.,Iss. 1), h. 201.
[27]
Kimberleey A. Morrison, “How Franchisor
Relations and Personality Affects Performance, Organizational Commitment,
Franchisor Relation, and Intention to Remain.” Journal Of Small Bussiness
Management, Jul 1997, Vol. 35 : No. 3 ; ABI/INFORM GLOBAL), h. 39.
[28]
Qolquitt, Lepine, dan Wesson, Op. Cit., h.
8.
[29]
Ibid.
No comments:
Post a Comment