Saturday, February 16, 2013

Manajemen Pendidikan



PENGARUH KEPRIBADIAN DAN KEADILAN TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.     Deskripsi Konseptual

1.    Komitmen Oraganisasi
Salah satu pilar dunia pendidikan adalah sekolah. Menurut Hoy dan Miskel, sekolah merupakan organisasi pelayanan  yang berkomitmen pada pengajaran dan pembelajaran. Sekolah, berbeda dengan jenis organisasi lainya, harus jadi organisasi pembelajaran (learning organization).[1]Menurut Senge, Organisasi pembelajaran merupakan tempat di mana peserta didik secara terus menerus memperluas kecakapanya untuk mencipta dan mencapai, tempat untuk mendorong pola-pola pemikiran baru, tempat aspirasi kilektif dipejari, tempat peserta didik belajar bagaimana belajar bersama, dan tempat organisasi memperluas kecakapanya untuk berinovasi dan memecahkan permasalahan. Sementara itu Leithwood dan Louis memandang organisasi pembelajaran sebagai tempat di mana peserta didik mengejar tujuan bersama dengan komitmen kolektif untuk secara terus menerus mengevaluasi nilai tujuan, melakukan modifikasi agar sesuai, dan secara berlekalanjutan mengembangkan cara-cara yang lebih efektif dan efisien untuk mencapai tujuan.[2]
Di sini terlihat bahwa sekolah sebagai organisasi pembelajaran bukan hanya berkutat pada urusan pengajaran yang pada umumnya diperankan oleh guru, akan tetapi lebih dari itu juga menjangkau area pembelajaran dan memungkinkan individu (peserta didik) memperluas kecakapanya untuk mencipta dan mencapai, mendorong pola-pola pemikiran baru, aspiratif kolektif dipelajari, belajar bersama, dan memecahkan masalah, bahkan mengejar tujuan bersama dengan komitmen kolektif untuk secara kontiniu mengevaluasi nilai tujuan, meakukan modifikasi, dan secara berkelanjutan mengembangkan cara-cara yang lebih efektif dan efisien untuk mencapai tujuan. Sekolah sebagai organisasi pembelajaran melibatkan dan memberikan peluang sebesar-besarnya bagi warga sekolah untuk belajar bersama, memperjuangkan tujuan bersama-sama, dan akhirnya menikmati hasilnya secara bersama-sama pula. Dengan demikian, jelaslah kiranya bahwa sekolah merupakan organisasi yang memerlukan komitmen dari seluruh anggoatanya.
Komitmen organisasi sebagaimana yang definisikan oleh Colquitt, Lapine dan Wesson, “organizational commitment is the desire on the part of an employed to remain of the organization.[3] Komitmen organisasi adalah keinginan yang kuat dari pihak karyawan untuk tetap menjadi anggota organisasi. Ketika karyawan mempunyai mempunyai keinginan yang kuat untuk bertahan menjadi anggota organisasi mungkin alasanya karena menginginkan (want to stay), membutuhkan (need to stay), atau merasa berkeharusan (feel ought to stay), berada dalam atau menjadi bagian dari organisasi.
Komitmen organisasi akan berpengaruh terhadap sikapnya akan tetap menjadi anggota organisasi atau keluar dan mencari wadah lain atau pekerjaan lain. Orang yang meninggalkan organisasi baik secara terpaksa maupun sukarela (voluntary or involuntary turnover) adalah mereka yang tidak atau kurang memiliki komitmen organisasi. Karyawan yang tidak memiliki komitmen organisasi yang kuat akan memperlihatkan perilaku yang disebut dengan withdrawal behavior.[4]
Colquitt, Lepine dan Wesson menyebutkan ada tiga jenis komitmen organisasi, yaitu: pertama affective commitment merupakan keinginan kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi karena adanya ikatan emosional (emotion-based reasons)dengan sesama karyawan, dan keterlibatan dalam organisasi. Kedua, continuance commitment dijelaskan sebagai keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggoata organisasi karena adanya kesadaran akan kerugian atau kehilangan (cost-based reasons) yang timbul bila meninggalkan organisasi, sehingga perlu merasa bertahan menjadi bagian dari organisasi. Ketiga, normative commitment merupakan keinginan kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi karena merasa berhutang kepada organisasi (obligation-based reasons) sehingga merasa berkewajiban itu.[5] Jadi bagi seorang karyawan yang memiliki komitmen organisasi, ia memiliki keinginan yang kuat untuk tetap bnertahan menjadi anggota organisasi meskipun alasanya mungkin karena emotion-based reasons, cost-based reason atau obligation-based reason.
Shaw, Delery & Abdulla memandang komitmen organisasi sebagai hasil dari investasi atau kontribusi terhadap organisasi, atau suatu pendekatan psikologi yang menggambarkan suatu hal yang positif, keterlibatan yang tinggi, orientasi intensitas tinggi terhadap organisasi.[6] Sedangkan Benkhoff melihat komitmen organisasi sebagai derajat kepedulian karyawan dan kontribusinya terhadap keberhasilan organisasi.[7]
Pandangan yang tidak jauh berbeda juga disampaikan oleh pakar-pakar yang lain. Newstrom misalnya menyatakan bahwa komitmen ogranisasi adalah suatu tingkat atau derat identifikasi diri pegawai  denagn organisasi dan keinginan-keinginanya untuk meneruskan partisipasi aktifnya dalam organisasi.[8] Kemudian Bishop, Scott & Burroughs memberikan definisi komitmen organisasi sebagai kekuatan relative dari identifikasi individu bersama dan keterlibatanya dengan organisasi.[9] Sedangkan Lhutans mengatakan:
organizational commitment is most often defined as a strong to remain a member of a particular organization; a willingness to exert high of effort on behalf of the organizion; and a definite believe in, and acceptance of, the values and goals of the organization.[10]

Jadi menurut Luthans bahwa komitmen organisasi merupakan suatu hasrat yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi; suatu keinginan untuk menunjukan usaha tingkat tinggi atas nama organisasi; dan keyakinan yang kuat dalam menerima nilai-nilai dan tujuan-tujuan organisasi. Dengan kata lain pengertian yang diberikan Lhutans ini merupakan sikap yang merefleksi loyalitas karyawan terhadap organisasi dan merupakan proses yang berlanjut di mana anggota organisasi menunjukan kepedulianya kepada organisasi.
Gibson, James L., et.al mendefinisikan komitmen adalah, “a sense of indecfication, loyalty, and involvement expresednby an employee toward the organization or unit of the organization”.[11] Menurut mereka ini komitmen terhadap organisasi mencakup tiga sikap: (1) rasa keberpihakan kepada tujuan organisasi, (2) perasaan keterlibatan dengan tugas-tugas organisasi, (3) persaan loyal terhadap organisasi. Ditegaskan pula bahwa tidak adanya komitmen akan dapat mengurangi efektivitas kerja organisasi.
Slocum dan Hellriegel memberikan definisi komitmen organisasi dengan mengatakan bahwa, “organizational commitmentbis the strength of an employee’s involvement in the organization and identification with it”.[12] Komitmen organisasi adalah kuatnya keterlibatan karyawan di dalam organisasi dan keberpihakan kepada organisasi.
Karyawan atau anggota yang bertahan lebih lama dengan organisasi cenderung memiliki komitmen lebih dibangdingkan dengan karyawan atau anggota yang hanya bekerja dalam kurun waktu yang lebih pendek. Komitmen organisasi yang kuat lazim ditandai dengan beberapa hal, seperti: (1) penerimaan dan dukungan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi, (2) bersedia berusaha sekuat tenaga atas nama organisasi, (3) keingina yang kuat untuk tetap menjadi bagian dari organisasi.
Berdasarkan uraian definisi dan pengertian dari para ahli di atas, dapat disintesiskan komitmen organisasi adalah keinginan kuat dari karyawan atau anggota organisasi untuk tetap menjadi anggota atau bagian dari sutu organisasi dengan menunjukan sikap kepedulian, keterlibatan yang tinggi, orientasi intensitas tinggi, dan loyalitas terhadap organisasi guna mewujudkan tujuan organisasi.

2.    Kepribadian
Kepribadian merupakan bagian dari kehidupan manusia yang sangat penting vdan vital, tetapi juga sekaligus kompleks sehingga dipersepsi oleh para pakar secara beragam pula.
Menurut Alport mendefinisikan kepribadian, “personality is  dynamic organization whitin individual of those psychophysical systems that determine his unique adjustments to his environment”. Kepribadian adalah organisasi dinamis dari sistim-sistem psikofisik di dalam diri manusia yang turut membentuk pola prilaku, pikiran dan perasaan seseorang secara unik atau khas dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.[13] Dari definisi tadi Carver dan Scheiver mencatat enam hal penting terkait dengan kepribadian, yaitu: (1) kepribadian bukanlah kumpulan dari potongan-potongan, tetapi memiliki organisasi, (2) kepribadian tidak hanya berada dalam satu tempat namun memiliki beberapa jenis proses, (3) meskipun sebagai konsep psikologis, namun kepribadian tidak dapat dipisahkan dari fisik tubuh, (4) kepribadian merupakan kekuatan penyebab yang membantu mementukan bagaimana seseorang berhubungan dengan dunia, (5) kepribadian muncul dari pola-pola berbeda antar individu yang bersifat tumbuk kembali dan konsisten, dan (6) kepribadian tidak hanya nampak dalam satu cara, tetapi dalam banyak cara, yaitu dalam prilaku, tindakan dan perasaan.[14]
Bani Passer dan Smith, kepribadian adalah cara berpikir, merasakan dan bertindak yang berbeda dab bertahan relative lama yang mencirikan tanggapan seseorang terhadap situasi hidup. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pikiran, perasaan, dan tindakan tersebut terlihat sebagai refleksi dari kepribadian individu yang secara khusus memiliki tiga kharakteristik. Pertama, kepribadian terlihat sebagai kemampuan perilaku dan identitas yang berbeda antara yang satu dengan yang lainya. Kedua, perilaku dipandang sebagai suatu hal yang lebih disebabkan oleh lingkungan internal dibanding lingkungan eksternal. Ketiga, perilaku seseorang nampak mempunyai organisasi yang terstruktur.[15]
Menurut McKeenna, kepribadian berisikan kualitas fisik, mental, moral dan social dari individu, kualitas-kualitas tersebut bersifat dinamis dan terintegrasi, yang dapat diamati oleh orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Kepribadian yang meliputi sifat-sifat alamiah individu dan dorongan-dorongan kebiasaan, kepentingan, sentiment, ide-ide, dan keyakinan-keyakinan yang diproyeksikan ke dunia luar.[16]
Pandangan lain tentang kepribadian dikemukakan oleh Ciccarelli dan Mayer, kepribadian adalah cara seseorang yang unik  dan relative stabil dalam berpikir dan bertindak.[17]
Dari berbagai batasan pengertian dan definisi di atas tampak bahwa kepribadian merefleksikan kualitas fisik, mental, moral dan social individu yang dinamis dan terintegrasi yang termanifestasikan dalam cara berpikir, mersakan dan bertindak secara unik dan stabil yang mencirikan seseorang terhadap kondisi kehidupan.
Kepribadian seseorang dapat diukur, menurut Passer dan Smith ada lima metode yang dapat digunakan untuk menilai kepribadian seseorang, yaitu: 1) wawancara (interviews), 2) penilaian perilaku (behavioral assessment), 3) sampel perilaku jarak jauh (remote behavior sampling), 4) skala kepribadian (personality scales) dan 5) penyujian proyektif (projevtive test).[18]
Kepribadian juga dibagi ke dalam lima dimensi. Dalam Faktor Model kepribadian (The five Factors Model Of Personality). Dalam teori ini dijelaskan dimensi kepribadian antara lain :
Pertama, surgensi (surgency) yang sering disebut juga sebagai dimensi kepercayaan diri, kebutuhan uintuk berkuasa dan dinamis. Seperti halnya pola perilaku yang sering muncul ketika seseorang mencoba untuk mempengaruhi atau mengendalikan orang lain, maka individu yang memiliki surgensi tinggi atau bersikap ramah, vepat mengambil keputusan, penuh pengaruh dan percayua diri.
Kedua, keramahtamahan (agreeableness) yang juga dikenal dengan istilah empati, keakraban, sensivikasi interpersonal atau kebutuhan berafiliasi. Dimensi ini berhubungan dengan bagaiman keguanaan seseorang mendapatkan pergaulan yang akrab dengan orang lain, yang merupakan lawan dari keinginan untuk mendapatkan yang terdepan.
Ketiga, dapat dipercaya (dependability) yang disebut juga dengan kekonsistensian atau kesadaran. Dimensi ini tidak hanya melibatkan interaksi dengan orang lain, tetapi lebih berhubungan dengan pola perilaku ynag terkait dengan pendekatan sesorang dengan  pekerja.
Keempat, penyesuaian (adjustment) dikenal juga dengan Neorotikisme, stabilitas emosional atau kendali diri. Dimensi kepribadian ini berhubungan dengan bagaimana reaksi seseorang terhadap stress, kegagalan, atau kritisisme pribadi.
Kelima, keterbukaan terhadap pengalaman (openness to experience) dikenal juga dengan kecerdasan, kengintahuan, dan pendekatan pembelajaran.[19]
Dalam literatur lain dijelaskan pula The Big Five Dimention of Personality dimensi kepribadian meliputi:
a.  Conscientioness atau kesadaran, yaitu sejauhmama kesadaran individu memiliki keinginan untuk bekerja keras, disiplin, dapat dipercaya dan tekun.
b.  Extraversion atau ekstraversi adalah derajat asertivitas kemauan bersahabat dan kemampuan untuk bersosialisasi antar vindividu.
c.  Agreeableness atau keramahtamahan, yaitu tingkat kerjasama dan kehangatan individu.
d.  Emotional stability atau stabilitas emosi adalah derajat ketenangan, kepercayaan diri dan rasa aman.
e.  Openness to experience atau keterbukaan terhadap pengalaman, yaitu tingkat kreatifitas, keingintahuan dan kebudayaan.[20]
Selain itu terdapat pula dimensi kepribadian lain dari Eysenck atau dikenal dengan eysenck’s Approach. Dimensi ini terbagi dalam dua kategori yang masing-masing berpasangan, yaitu introversi-ektroversi (intaversion-extraversion) dan emosionalitas-stabilitas (emotionality-stability) atau disebut pula dengan neorotikisme. Eysenck menekankan bahwa individu memiliki kecxendrungan eksrovert tetapi memiliki emosi stabil akan menghasilkan kepribadian soaibilitas, ramah, banyak bicara, responsive, mudah bergaul, lincah, peduli dan berjiwa pemimpin.[21]
Dari berbagai uraian definisi dan pengertian di atas, maka dapat disintesiskan kepribadian adalah refleksi kualitas fisik, mental, moral dan social individu yang dinamis dan terintegrasi, yang termanifestasikan ke dalam cara berpikir, merasakan dan bertindak secara unik dan stabil yang mencirikan seseorang terhadap kondisi hidup yang meliputi aspek-aspek: kesadaran (conscientiousness), ekstraversi (extravertion), keramahtamahan (agreeableness), stabilitas emosional (emotional stability) dan keterbukaan  terhadap pengalaman (opinnese to experience).

3.    Keadilan
Keadilan yang dibicarakan di sini adalah keadilan yang terdapat dalam organisasi, yaitu yang biasa disebut dengan organizational justice. Keadilan di sini meliputi seluruh sisi dari imbalan yang dimaksud: psikologi, sosial dan ekonomi.
Menurut J. Stacy Adam’s dalam teori kepatuhan dalam Newstrom bahwa karyawan cenderung menilai keadilan dengan membandingkan yang mereka terima dengan masukan (inputs) yang mereka berikan dan juga dengan membandingkan antara rasio outcomes berbanding inputs yang dimilikinya dengan yang dimiliki orang lain. Newstrom juga menjelaskan bahwa inputs mencakup berbagai elemen yang dimiliki dan diberikan oleh karyawan terhadap pekerjaanya seperti: pendidikan, senioritas, pengalaman kerja, loyalitas dan komitmen, waktu dan tenaga, dan kinerja (inputs include all the rich and diverse elements that employees believe they bring, or contribute, to the job-their education, seniority, pior work experience, loyality and commitmet, time and effort, creativity, and job performance). Sedangkan outcomes lanjut Newstrom, adalah imbalan yang diperoleh dari pekerjaan dan “boss” yang meliputi gaji dan bonus, keuntungan tambahan, keamanan kerja, imbalan yang bersifat social, dan imbalan yang bersifat psikologis.[22]
Menurut Robbins dan Judge keadilan adalah, “organizational justice is the overall perception of what is fair in the workplace, composed of distributive, procedural, and interactional justice”.[23] Jadi keadilan merupakan persepsi secara keseluruhan dari apa yang dipandang adil di tempat kerja, yang terdiri dari keadilan distributive, keadilan procedural dan keadilan interaksional.
Keadilan distributif menjadi hal prtama yang diperhatikan ketika terjadi pengalaman atau situasi ketidakadilan, di mana ketidakadilan ini umumnya dalam hal upah dan pendapatan-pendapatan lainya. Meskipun apa yang dipandang “adil” berbeda dari orang dan situasi yang berbeda.
Keadilan prosedural dipengaruhi oleh aturan-aturan struktural dan aturan-aturan sosial. Aturan-aturan struktural mempresentasikan kebijakan-kebijakan dan kebiasaan-kebiasaan yang harus diikuti oleh pengambil keputusan. Aturan sosial berhubungan dengan seberapa baik pembuat keputusan memperlakukan karyawan. Ada dua kata kunci yang berkaitan dengan keadilan sosial, yaitu respek dan akuntabilitas.
Luthans mendefinisikan keadilan adalah merupakan pengembangan dari Equity Theory (teori kepatutan) yang mengisyaratkan bahwa seseorang haruslah memperoleh imbalan secara proporsional sesuai dengan kontribusinya. Sedikit berbeda dengan Robbins dan Judge, ia mengemukakan ada empat jenis keadilan, yaitu keadilan distributif (distributive justice), keadilam prosedural (procedural justice), keadilan interpersonal (interpersonal justice), dan keadilan informasional (informational justice).
Colquitt, Lepine dan Wesson menggambarkan keadilan dengan mengatakan:
“justice reflects the perceived fairness of an authority’s decision making. When employees perceive high levels of justice, they believe that decision outcomes are fair and that decision making processes are designed and implemented in a fair manner. Justice concepts van be used to explain why employees judge some authorities as more trustworthy that others”.[24]

Lebih jauh lagi Colquitt, Lepine dan Wesson menjelaskan bahwa kerap kali sulit untuk mengukur kompetensi, watak, dan kebaikan dari pemegang otoritas dengan akurat terutama sekali pada periode awal hubungan kerja. Dalam keadaan seperti itu yang diperlukan oleh karyawan adalah semacam bukti perilaku yang bisa diamati yang menunjukan seorang pemegang otoritas dapat dipercaya. Karyawan dapat menilai adilnya pengambilan keputusan yang dilakukan pemegang otoritas melalui empat dimensi keadilan: keadilan distributif, keadilan prosedural, keadilan interpersonal, dan keadilan informasional.
Menurut Robbins dan Judge, keadilan distributif adalah keadilan yang memiliki hubungan yang paling kuat dengan komitmen organisasi. Keadilan prosedural berhubungan erat dengan kepuasan kerja, kepercayaan karyawan, dan kinerja. Sementara untuk keadilan interaksional tidak terdapat bukti yang cukup.[25] Oleh karena itu maka keadilan yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini hanyalah keadilan distributif.
Berdasarkan beberapa konsep di atas dapat disintesiskan bahwa keadilan organisasi adalah persepsi seseorang terhadap kejujuran atau keadilan yang dilakukan oleh pemegang otoritas di dalam pengambilan keputusan tentang outcomes yang diperolehnya.

B.    Kerangka Teoretik
1.    Kepribadian dan Komitmen Organisasi
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Chang da Lee mendapatkan bahwa sifat-sifat kepribadian positif (conscientiousness, extraversion, neuroticism, agreeableness dan openness to experience) memiliki hubungan yang signifikan engan komitmen organisasi.[26] Penelitian lain juga dilakukan oleh Morrison yang menyimpulkan bahwa dimensi kepribadian ekstraversi dan keramahtamahan memiliki hubungan positif dengan komitmen organisasi.[27]
Dari uraian diatas, dapat diduga bahwa  terdapat  pengaruh langsung positif  kepribadian  terhadap komitmen organisasi.

2.    Keadilan dan  Komitmen Organisasi
Keadilan merupakan persepsi secara keseluruhan dari apa yang dipandang adil di tempat kerja, terutama yang menyangkut pengambilan keputusan tentang pendistribusian outcomes seperti dalam pembagian upah, pemberian penghargaan, evaluasi, pembagian tugas dan pemberian promosi. Sementara komitmen organisasi adalah keinginan dari seseorang untuk tetap menjadi anggota atau bagian dari organisasi karena adanya ikatan emosional yang kuat dengan organisasi.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Qolquitt, Lepine dan Wesson bahwa komitmen organisasi dipengaruhi oleh beberapa factor, diantaranya adalah keadilan yang dapat  mempengaruhi secara langsung terhadap terbentuknya komitmen organisasi.[28]
Dari uraian diatas, dapat diduga bahwa  terdapat  pengaruh langsung positif  keadilan terhadap komitmen organisasi.

3.    Kepribadian dan Keadilan  
Kepribadian adalah refleksi kualitas fisik, mental, moral dan social individu yang dinamis dan terintegrasi, yang termanifestasikan ke dalam cara berpikir, merasakan dan bertindak secara unik dan stabil yang mencirikan seseorang terhadap kondisi hidup yang meliputi aspek-aspek: kesadaran (conscientiousness), ekstraversi (extravertion), keramahtamahan (agreeableness), stabilitas emosional (emotional stability) dan keterbukaan  terhadap pengalaman (opinnese to experience). Sementara keadilan adalah persepsi seseorang terhadap kejujuran atau keadilan yang dilakukan oleh pemegang otoritas di dalam pengambilan keputusan tentang outcomes yang diperolehnya.
Keadilan adalah efek yang dihasilkan dari sikap dan perilaku seseorang yang bersumber dari kesadaran individual seseorang atau yang disebut sebagai kepribadian. Hal ini juga dipertegas dalam teori yang dikemukakan oleh Qolquitt, Lepine dan Wesson yang mengatakan bahwa keadilan dipengaruhi secara langsung oleh kepribadian.[29]
Dari uraian diatas, dapat diduga bahwa  terdapat  pengaruh langsung positif  motivasi  terhadap disiplin kerja.

C.    Hipotesis Penelitian

Berdasarkan  deskripsi  konseptual  dan kerangka  teoretik diatas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.   Terdapat  pengaruh langsung positif  Kepribadian terhadap Komitmen Organisasi.
2.  Terdapat  langsung positif Keadilan terhadap Komitmen Organisasi.
3.  Terdapat pengaruh langsung positif  Kepribadian dan Keadilan.















[1]   Wayne K. Hoy & Cecil G. miskel, Educational Administration: Theory, Research and Practice (New York: McGraw Company, 2008), hh. 33-34.
[2]   Ibid., hh. 33-34
[3]   Jasson A. Colquitt, Jeffery A. Lepine & Michael J. Wesson, Organizational Begavior: Improving, Performance and Commitment in the Workplace (New York: McGraw-Hill, 2009), h. 67.
[4]   Ibid., h. 67.
[5]   Ibid., hh. 67-68.
[6]   Shaw, Delery & Abdulla, “Oranizational Comitment and Performance Among Guest Workers and Citizets of Arab Country,” Journal of Business Research, 56,2003, h. 2.
[7]    Benkhoff, “Ignoring Comitment Is Costly: New Appoarches Estabilish the Missink Link Between Organizational Comitmen and Performance,” Human Relation, 50, (6), 1997, h. 3.
[8]   Jhon W. Newstrom, Organization Behavior: Human Behavior at Work, 12ᵗᵗʰ edition (Boston: Mcgraw Hill, 2007), h. 207.
[9]   Bishop, Scott & Burroughs, “Suport Comitment and Employee Outcomes in a Team Enviroment,” Journal Management, 26 (6), 2002, h. 2.
[10]  Fred Lhutans, Organizational Behavior, 11ᵗᵗʰ (Boston: McGraw-Hill, 2008), h. 147-148.
[11]  Jams L Gibson, et.al, Organizations: Behavior, Structure, Processes, Twelve Edition (Boston: McGraw-Hill Irwin, 2006), h. 184.
[12]  Jhon W. Slocum, Jr. dan Don Hellriegel, Principles of Organizatioal Behavior (New York: South-Western, 2009), h. 57.
[13]  Charles S. Carver & Michael F. Scheiver, Perspectiva on Personality (Boston: Person Education, Inc., 2008), h. 5.
[14]  Ibid., h. 5
[15]  Michael W. Passer & Ronald E. Smith, Psychology: The Science of Mind and Behavior (New York: McGraw-Hill, 2007), h. 442.
[16]  McKenne, Eugene, Business and Psychology: Organizational Behavior (New York: Psychology Press, 2006), h. 28.
[17]  Sandra K. Ciccarelli & Glena E. Mayer, Psychology (New Jersey: Prentice Hall, 2006), h. 444.
[18]  Michael W. Passer & Ronald E. Smith, . hh. 479-482.
[19] Hugles, Ginnett & Curphy, Leadership : Enhacing the Lessons of Experience (New York: McGraw-Hill Companies, Inc., 2009), h. 205.
[20] Jerald Greenberg dan Robert A. Baron, Behavior In Organizational (New Jersey: Prentice Hall, 2003), h. 85.
[21] H. 50.
[22] Jhon W. Newstrom, Organization Behavior: Human Behavior at Work, 12ᵗᵗʰ edition (Boston: Mcgraw Hill, 2007), h. 120.
[23] Robbins and Judge, Organizational (ghjjjjjdjjyd), p. 229.
[24] Colquitt, lepine dan Wesson, op. cit., h. 219.
[25] Robbins and Judge, op.cit., h. 230.
[26] Su-Chao Chang & Ming-Shing Lee, “Relationships Among personality Traits, Job Characteristies, Job Setisfaction and Organizational Commitment: an Empirical Study in Taiwan,” The Business Review (Cambridge, Hollywood: Dee 2006. Vol. 6.,Iss. 1), h. 201.
[27] Kimberleey A. Morrison, “How Franchisor Relations and Personality Affects Performance, Organizational Commitment, Franchisor Relation, and Intention to Remain.” Journal Of Small Bussiness Management, Jul 1997, Vol. 35 : No. 3 ; ABI/INFORM GLOBAL), h. 39.
[28] Qolquitt, Lepine, dan Wesson, Op. Cit., h. 8.
[29] Ibid.

No comments:

Post a Comment