Pendahuluan
Pendidikan nasional bagi negara berkembang seperti Indonesia merupakan program besar, yang menyajikan tantangan tersendiri. Hal ini karena jumlah penduduk yang luar biasa, mencapai sekitar 235 juta dan posisinya tersebar ke berbagai pulau.
Ditambah lagi Indonesia merupakan masyarakat multi-etnis dan sangat pluralistik, dengan tingkat sosial-ekonomi yang beragam. Hal ini menuntut adanya sistem pendidikan nasional yang kompleks, sehingga mampu memenuhi kebutuhan seluruh rakyat.
Sistem pendidikan semacam itu tidak mungkin dipenuhi tanpa adanya suatu perencanaan pendidikan nasional yang andal. Perencanaan itu juga bukan perencanaan biasa, tetapi suatu bentuk perencanaan yang mampu mengatasi perubahan kebutuhan dan tuntutan, yang bisa terjadi karena perubahan lingkungan global.
Globalisasi yang menjangkau seluruh bagian bumi membuat Inonesia tidak bisa terisolasi. Perkembangan teknologi telekomunikasi dan informasi, membuat segala hal yang terjadi di dunia internasional berpengaruh juga berpengaruh ke Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan suatu perencanaan strategik dalam sistem pendidikan nasionalnya, agar sanggup menghadapi berbagai tantangan tersebut.
Perencanaan Strategik
Perencanaan strategik (strategic planning) dipandang sebagai mode baru dalam perencanaan. Kata “strategi” berasal dari bahasa Yunani, strategos, yang berarti “seperangkat umum manuver, yang dilaksanakan untuk mengatasi musuh di medan pertempuran.” Kata “strategi” itu bahkan telah digunakan oleh pemikir militer kuno Cina, Sun Tzu, dan pemimpin Perancis, Napoleon. Pendekatan perencanaan yang awalnya diyakini sebagai ilmunya kaum militer tersebut selanjutnya diterapkan pada organisasi atau pun perusahaan bisnis.
Meskipun istilah perencanaan strategik sudah muncul sejak tahun 60-an, namun sebagai teknik dan pendekatan perencanaan, sesungguhnya bisa disebut sebagai fenomena baru. Perencanaan strategik tiba-tiba menjadi terkenal di Amerika setelah terjadi krisis energi akibat embargo minyak oleh negara-negara pengekspor minyak, OPEC.
Peristiwa itu menyadarkan orang akan perlunya perencanaan yang lebih fleksibel, mampu memprediksi lingkungan yang cepat berubah serta mampu berjalan seiring dengan ketidakpastian keadaan. Perencanaan strategik justru muncul sebagai paradigma alternatif dalam bidang perencanaan, menggantikan model perencanaan lama atau konvensional, yakni perencanaan jangka panjang (long-term planning) maupun perencanaan standar yang obyektif.
Perbedaan Dasar antara Perencanaan Strategik dan Konvensional
Logika dasar dari perencanaan strategik adalah bahwa dalam lingkungan dunia yang berubah secara pesat dan tak menentu, suatu organisasi memerlukan kemampuan untuk perubahan perencanaan dan manajemen secara cepat. Maka kemampuan untuk senantiasa melakukan penangkapan lingkungan eksternal dari organisasi, serta upaya terus-menerus untuk senantiasa melakukan penelaahan kemampuan dan kelemahan internal, menjadi prasyarat bagi organisasi untuk tetap strategik dan relevan.
Pada perencanaan konvensional yang merupakan paradigma lama, perencanaan berangkat dari penetapan tujuan jangka panjang. Berdasarkan tujuan tersebut, segenap daya dikelola untuk mencapai tujuan tersebut.
Sebaliknya, perencanaan strategik memiliki logika yang berbeda. Justru perencanaan strategik berangkat dari misi, mandat, dan nilai-nilai yang menjadi dasar suatu organisasi untuk berkembang, serta visi organisasi di masa mendatang.
Analisis yang mengaitkan antara misi dan visi, serta perkembangan lingkungan eksternal serta kekuatan dan kelemahan internal ini, akan membawa organisasi menemukan arah menuju yang paling strategik. Dengan begitu, organisasi akan tetap menjadi relevan.
Di sisi lain, organisasi juga tidak mungkin menjadi pendukung yang efektif bagi kesejahteraan komunitasnya, kecuali organisasi tersebut meningkatkan kemampuannya untuk berpikir dan bertindak strategik.
Ada empat hal pokok yang membedakan perencanaan strategik dengan perencanaan jangka panjang (konvensional) bagi organisasi. Yaitu:
Pertama, meskipun keduanya berfokus pada organisasi dan apa yang harus dikerjakan organisasi untuk memperbaiki kinerjanya, perencanaan strategik lebih memfokuskan pada pengidentifikasian dan pemecahan isu-isu. Sedangkan perencanaan jangka panjang lebih memfokuskan pada pengkhususan sasaran (goals) dan tujuan (objectives), serta menerjemahkannya ke dalam anggaran dan program kerja.
Kedua, perencanaan strategik lebih menekankan pada penilaian terhadap lingkungan di luar dan di dalam organisasi, daripada yang dilakukan perencanaan jangka panjang. Para perencana jangka panjang cenderung menganggap bahwa kecenderungan masa kini akan berlanjut hingga masa depan. Sedangkan perencana strategik memperkirakan munculnya kecenderungan baru, diskontinuitas dan berbagai kejutan.
Ketiga, para perencana strategik lebih mungkin untuk mengumpulkan versi yang diidealkan –“visi keberhasilan”—dan mengusahakan bagaimana visi itu dapat tercapai, ketimbang perencana jangka panjang. Karena rencana-rencana sering diarahkan oleh visi keberhasilan, maka arah pada perencanaan strategik sering mencerminkan perubahan kualitatif. Sebaliknya, pada perencanaan jangka panjang, arah sering kali merupakan ekstrapolasi garis lurus dari keadaan sekarang, yang berlanjut lurus ke masa depan berdasarkan kecenderungan yang ada sekarang.
Keempat, perencanaan strategik lebih berorientasikan tindakan (action oriented) ketimbang perencanaan jangka panjang. Perencana strategik biasanya mempertimbangkan suatu rentang masa depan yang mungkin, dan memfokuskan pada implikasi keputusan dan tindakan masa sekarang, sehubungan dengan rentang tersebut. Maka para perencana strategik dapat mempertimbangkan berbagai arus yang mungkin dalam keputusan dan tindakan, untuk berusaha menangkap sebanyak mungkin peluang yang terbuka bagi organisasi, agar organisasi dapat menanggapi kemungkinan yang tak terduga dengan tepat dan efektif.
Manfaat Perencanaan Strategik Berdasarkan Pengalaman Empiris
Selain sudah terbukti bagi organisasi militer dan perusahaan bisnis, perencanaan strategik juga dapat bermanfaat bagi lembaga pendidikan, organisasi sosial, lembaga swadaya masyarakat (LSM), ataupun organisasi nirlaba (non-profit) lainnya.
Berdasarkan pengalaman empiris, ada sejumlah indikasi manfaat perencanaan strategik bagi lembaga pendidikan atau organisasi sosial yang menggunakannya. Yaitu:
Pertama, perannya sangat berarti dalam membantu organisasi untuk menetapkan isu strategik yang perlu dan relevan untuk diperjuangkan. Banyak lembaga pendidikan dan organisasi sosial tidak mampu menetapkan isu strategik, sehingga perjalanan organisasi bersifat rutin ataupun reaktif.
Kedua, perencanaan strategik bermanfaat untuk menyadarkan keseluruhan anggota ataupun pemangku kepentingan (stake-holders) organisasi mengenai visi, misi, mandat, serta nilai-nilai yang dianut oleh organisasi. Hal ini penting untuk menghindari organisasi tanpa kejelasan visi dan misi, atau hanya sebagian kecil elit organisasi yang memahami misi dan visi organisasi, sementara sebagian besar anggotanya tidak memahami atau tidak terlibat dalam menetapkannya.
Ketiga, organisasi sosial yang memiliki perencanaan strategik tidak hanya dapat membantu suatu organisasi tetap relevan dengan perubahan lingkungan sosial-politik, namun bahkan mampu mempengaruhi, mengarahkan dan membentuk sistem sosial, politik, dan ekonomi, sesuai dengan visi dan misi organisasi.
Terakhir, perencanaan strategik sangat bermanfaat untuk memungkinkan konsolidasi organisasi secara berkala, yang akan membawa pada suasana meningkatnya partisipasi keseluruhan anggota dalam proses pengambilan keputusan yang mendasar, serta menghindarkan terjadinya proses keterasingan (alienasi) bagi elit organisasi terhadap massa anggotanya.
Implementasi Perencanaan Strategik pada Sistem Pendidikan Nasional
Perencanaan strategik juga dapat diimplementasikan pada sistem pendidikan nasional. Perencanaan pendidikan sendiri adalah salah satu kebijakan pemerintah yang terkait dengan kebijakan-kebijakan publik lainnya. Fungsi dari setiap keputusan publik juga diintegrasikan dengan keputusan-keputusan lainnya.
Proses perencanaan pendidikan di Indonesia diarahkan pada relevansi, efisiensi, dan efektivitas pendidikan, sehinga sasaran pendidikan akan tercapai sesuai dengan tujuan yang telah digariskan. Ini pada awalnya adalah pendekatan perencanaan konvensional.
Hanya saja dalam tataran implementasi, apa yang telah digariskan seringkali berbeda dengan kenyataan di lapangan, sehinga optimalisasi kinerja manajemen pendidikan belum berjalan sesuai harapan. Dalam hal inilah, diperlukan perencanaan strategik yang tanggap terhadap tuntutan perubahan, tanpa melupakan misi, visi, mandat dan nilai-nilai yang telah ditetapkan.
Paradigma perencanaan lama yang bersifat sentralisasi juga telah bergeser dengan lahirnya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 jo No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
UU ini memberi kewenangan yang lebih luas pada provinsi, kabupaten dan kota untuk mengelola daerahnya masing-masing sesuai dengan aspirasi masyarakat dan potensi yang dimilikinya. Dan, tentu juga, agar pemerintah daerah bisa bersikap adaptif dan kreatif terhadap perubahan lingkungan eksternal yang cepat dan dinamis.
Dengan digariskannya kebijakan tentang Otonomi Daerah, termasuk di bidang penyelenggaraan pendidikan, maka implikasinya berdampak pada perubahan sistem perencanaan.
MBS sebagai Wujud Implementasi Perencanaan Strategik
Dalam mengimplementasikan desentralisasi di bidang pendidikan, sebagai wujud konkret dari implementasi perencanaan strategik, maka diterapkanlah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Dengan MBS, maka sekolah-sekolah yang selama ini dikontrol ketat oleh pusat menjadi lebih leluasa bergerak dalam mengelola sumber dayanya, sehingga mutu dapat ditingkatkan. Pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar tersebut merupakan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat, sekaligus sebagai sarana peningkatan efisiensi pendidikan.
Dalam konteks perencanaan strategik, MBS memungkinkan organisasi sekolah lebih tanggap, adaptif, kreatif, dalam mengatasi tuntutan perubahan akibat dinamika eksternal, dan pada saat yang sama mampu menilai kelebihan dan kelemahan internalnya untuk terus meningkatkan diri.
Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi.
Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orangtua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru, serta hal lain yang dapat menumbuhkembangkan suasana yang kondusif. Pemerataan pendidikan tampak pada tumbuhnya partisipasi masyarakat (stake-holders), terutama yang mampu dan peduli terhadap masalah pendidikan.
Implikasi perencanaan strategik, yang berwujud desentralisasi manajemen pendidikan, adalah pemberian kewenangan yang lebih besar kepada kabupaten dan kota untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerahnya. Juga, melakukan perubahan kelembagaan untuk memenuhi dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam perencanaan dan pelaksanaan, serta memberdayakan sumber daya manusia, yang menekankan pada profesionalisme.
Perwujudan perencanaan strategik dalam pelaksanaan MBS memerlukan upaya penyelarasan, sehingga pelaksanaan berbagai komponen sekolah tidak tumpang tindih, saling lempar tugas dan tanggung jawab. Dengan begitu, tujuan yang telah ditetapkan –sebagai konkretisasi visi dan misi organisasi—dapat dicapai secara efektif, efisien, dan relevan dengan keperluannya.
Sinopsis dan Argumen Pendukung
Dari berbagai uraian di atas, dapat dibuat rangkuman alur pemikiran beserta argumen-argumen pendukungnya, sebagai berikut:
1. Pendidikan nasional bagi negara yang berpenduduk begitu besar, multi-etnis, multi-religius, beragam tingkat sosial-ekonomi seperti Indonesia merupakan program besar, yang menuntut adanya sistem pendidikan nasional yang kompleks dan perencanaan yang andal.
2. Perencanaan yang dibutuhkan itu juga bukan lagi perencanaan konvensional biasa, tetapi perencanaan yang mampu mengatasi perubahan kebutuhan dan tuntutan, yang bisa terjadi karena perubahan lingkungan global.
3. Maka, Indonesia memerlukan perencanaan strategik dalam sistem pendidikan nasionalnya. Perencanaan strategik bersifat lebih fleksibel, mampu memprediksi lingkungan yang cepat berubah serta mampu berjalan seiring dengan ketidakpastian keadaan.
4. Perencanaan strategik muncul sebagai paradigma alternatif, menggantikan model perencanaan lama, yakni perencanaan jangka panjang (long-term planning) maupun perencanaan standar yang obyektif.
5. Perbedaan dasar antara perencanaan strategik dan konvensional adalah: Pada perencanaan konvensional, perencanaan berangkat dari penetapan tujuan jangka panjang. Berdasarkan tujuan tersebut, segenap daya dikelola untuk mencapai tujuan tersebut. Sebaliknya, perencanaan strategik memiliki logika yang berbeda. Justru perencanaan strategik berangkat dari misi, mandat, dan nilai-nilai yang menjadi dasar suatu organisasi untuk berkembang, serta visi organisasi di masa mendatang.
6. Pengalaman empiris menunjukkan, selain sudah terbukti bagi organisasi militer dan perusahaan bisnis, perencanaan strategik juga dapat bermanfaat bagi lembaga pendidikan, organisasi sosial, lembaga swadaya masyarakat (LSM), ataupun organisasi nirlaba (non-profit) lainnya.
7. Perencanaan strategik dapat diimplementasikan pada sistem pendidikan nasional. Saat ini, paradigma perencanaan lama yang bersifat sentralisasi telah bergeser ke arah desentralisasi, dengan kewenangan yang lebih luas pada provinsi, kabupaten dan kota untuk mengelola daerahnya masing-masing sesuai aspirasi masyarakat dan potensi yang dimilikinya. Dan, tentu juga, lebih bersifat adaptif terhadap perubahan lingkungan eksternal yang cepat dan dinamis.
8. Sebagai wujud dari implementasi perencanaan strategik, diterapkanlah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Dengan MBS, sekolah-sekolah yang selama ini dikontrol ketat oleh pusat menjadi lebih leluasa. Dalam konteks perencanaan strategik, MBS memungkinkan organisasi sekolah lebih tanggap, adaptif, kreatif, dalam mengatasi tuntutan perubahan akibat dinamika eksternal, dan pada saat yang sama mampu menilai kelebihan dan kelemahan internalnya untuk terus meningkatkan diri. ***
Daftar Pustaka
Bryson, John M (2008). Perencanaan Strategis Bagi Organisasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sa’ud, Udin Syaefudin, dan Abin Syamsuddin Makmun (2007). Perencanaan Pendidikan: Suatu Pendekatan Komprehensif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Jakarta, April 2012
Ir. Satrio Arismunandar, M.Si, MBA
HP: 0819 0819 9163
Tuesday, February 26, 2013
Monday, February 25, 2013
Peran dan Fungsi Ekonomi Pendidikan
Peranan ekonomi dalam pendidikan cukup menentukan tetapi bukan sebagai pemegang peranan penting sebab ada hal lain yang lebih menentukan hidup matinya dan maju mundurnya suatu lembaga pendidikan dibandingkan dengan ekonomi, yaitu dedikasi, keahlian dan ketrampilan pengelola guru-gurunya. Inilah yang merupakan kunci keberhasilan suatu sekolah atau perguruan tinggi. Artinya apabila pengelola dan guru-guru/dosen-dosen memiliki dedikasi yang memadai, ahli dalam bidangnya dan memiliki ketrampilan yang cukup dalam melaksanakan tugasnya, memberi kemungkinan lembaga pendidikan akan sukses melaksanakan misinya walaupun dengan ekonomi yang tidak memadai.Fungsi ekonomi dalam pendidikan adalah menunjang kelancaran proses pendidikan bukan merupakan modal yang dikembangkan dan juga mendapatkan keuntungan yang berlimpah, disini peran ekonomi dalam sekolah juga merupakan salah satu bagian dari sumber pendidikan yang membuat anak mampu mengembangkan kognisi, afeksi, psikomotor untuk menjadi tenaga kerja yang handal dan mampu menciptakn lapangan kerja sendiri, memiliki etos kerja dan bisa hidup hemat. Selain sebagai penunjang proses pendidikan ekonomi pendidikan juga berfungsi sebagai materi pelajaran dalam masalah ekonomi dalam kehidupan manusia.
Dengan demikian kegunaan ekonomi dalam pendidikan terbatas pada hal-hal:
a. Untuk membeli keperluan pendidikan yang tak dapat dibuat sendiri seperti prasarana dan sarana, media, alat peraga dan sebagainya.
b. Membiayai semua perlengkapan gedung, seperti air, listrik telpon.
c. Membayar jasa dari segala kegiatan pendidikan.
d. Mengembangkan individu yang berperilaku ekonomi, seperti; belajar hidup hemat.
e. Memenuhi kebutuhan dasar para personalia pendidikan.
f. Meningkatkan motivasi kerja.
g. Meningkatkan gairah kerja para personalia pendidikan.
Dana pendidikan di Indonesia sangat terbatas, oleh karena itu ada kewajiaban lembaga pendidikan untuk memperbanyak Sumber-sumber dana pendidikan yang mungkin bisa diperoleh di antaranya:
a. Dari pemerintah dalam bentuk proyek pembangunan, penelitian dan sebagainya.
b. Kerjasama dengan instansi lain, baik pemerintah, swasta maupun dunia usaha. Kerja samanya dalam bidang penelitian, pengabdian pada masyarakat.
c. Membentuk pajak pendidikan. Program ini bisa dirancang bersama antara lembaga pemerintah setempat dan masyarakat, dengan cara ini bukan saja orang tua siswa yang membayar dana pendidikan tetapi semua masyarakat.
d. Usaha-usaha lainya.
Menurut jenisnya pembiayaan pendidikan dibagi atas:
a. Dana rutin adalah dana yang dipakai untuk membiayai kegiatan rutin seperti gaji pendidikan pengabdian masyarakat, penelitian dan sebagainya.
b. Dana pembangunan, adalah dana yang dipakai untuk membiayai pembangunan fisik diberbagai bidang, seperti; membangun prasarana dan sarana, alat belajar, media, dan kurikulum baru.
c. Dana bantuan masyarakat, termasuk SPP yang digunakan untuk membiayai hal-hal yang belum dibiayai oleh dana rutin dan dana pembangunan.
d. Dana usaha lembaga sendiri yang penggunaanya untuk membiayai hal-hal yang belum dibiayai oleh dana rutin dan dana pembangunan.
Didalam mengelola dan merencanakan sumber dana, maka ada tiga macam perencanaan biaya pendidikan yaitu:
a. Perencanaan sacara tradisional, yaitu merencanakan masing-masing pendidikan maka masing masing pendidikan tersebut ditentukan biayanya.
b. SP4 (Sistem Perencanaan Penyusunan Program Dan Penganggaran): Pengaturan jenis-jenis kegiatan dalam pendidikan diatur dalam system, alokasi dana disusun berdasarkan realita, dan semua kegiatan ditujukan pada pencapaian target pendidikan.
c. ZBB (Zero Base Budgeting), hanya diatur untuk satu tahun anggaran. Dengan demikian dana pendidikan perlu dikelola secara profesional dengan SP4 dan dipertanggungjawabkan dengan bukti-bukti pembelian yang sah.
Sunday, February 24, 2013
Pendidikan Karakter dan Masa Depan Bangsa.
Pendidikan Karakter dan Masa Depan Bangsa
Upaya meningkatkan sumber
daya manusia Indonesia menjadi kajian serius dan berkesinambungan.
Berdasarkan kaitan ini tampaknya tugas guru tetap dipertaruhkan mendidik
anak bangsa. Pendidikan yang bermutu tidak terlepas dari kurikulum yang
diharapkan dapat menanggapi berbagai tantangan dan perubahan lingkungan
dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi informasi. Itulah
sebabnya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang dilaksanakan dari
jenjang sekolah sadar sampai menengah tetap memerlukan pemantauan dan
penilaian secara terus-menerus. Untuk mencapai manusia Indonesia yang
berkualitas melalui pendidikan tersebut tidak terlepas dari jaringan
pendidikan yang saling berkaitan seperti guru, kepala sekolah,
organisasi, profesi, kegiatan belajar-mengajar, buku paket, dan kondisi
ekonomi, sosial serta politik di masyarakat. Peningkatan mutu tersebut
hanya dapat dicapai jika sumber manusianya baik.
Guru adalah
kunci utama dalam meningkatkan mutu siswa. Guru adalah orang yang
mengenal kebutuhan dan perkembangan murid, dan guru juga yang paling
terlibat dalam sistem pembelajaran di kelas. Apabila mutu murid merosot
maka yang pertama disalahkan adalah guru. Hal ini suatu anggapan yang
umum, meskipun kegagalan murid bukan hanya disebabkan faktor guru.
Didaktik Khusus
Tugas guru di samping menguasai bahan yang diajarkan ia juga harus mampu menguasai didaktik atau cara menyampaikan. Sebagai contoh mengapa nilai Matematika gagal karena guru kurang mampu menguasai didaktik. Persoalan serius yang perlu menjadi perhatian bersama saat ini adalah belum adanya didaktik khusus dalam proses belajar-mengajar. Pada tahun 60-an sampai 70-an di kota Medan terkenal dengan tokoh "tukang koyok" yang beroperasi di lapangan Merdeka (kini berubah menjadi Merdeka Walk). Mereka mampu memikat publik pendengar dengan bahasa dan cara-cara mereka menjual obat-obat dan "minyak karuhun".
Publik melihat bagaimana sang tukang koyok menjual minyak untuk penawar bisa ular. Dia membawa seekor ular tiung dan berkali-kali mematuk lidah sang penjual obat. Namun, sang penjual secepatnya membasahi lidahnya dengan minyak karuhun tadi sehingga darah berhenti mengalir dan tanpa menimbulkan bahaya. Setelah itu barulah dia menjajakan barangnya ke sekeliling penonton. Hal inipun dapat dilakukan sekarang ini akan tetapi bukan dengan cara "tukang koyok" Lapangan Merdeka. Dengan kecanggihan teknologi komputer penerbitan buku-buku teks pelajaran dapat dibantu dengan seperangkat gambar dan animasi yang membawa "sang murid" ke dunia konkret" dunia nyata" dan sehari-hari yang berwawasan penerapan (aplikasi). Jadi telah terjadi gabungan antara teori dengan aplikasi.
Perilaku ala "tukang koyok" tadi dapat, menjadi perbandingan guru utuk mengambil pelajaran yakni bagaimana cara yang efektif untuk memikat murid di dalam kelas. Sekarang banyak "barang lama" dilupakan guru di sekolah dasar. Misalnya menghitung dengan membawa lidi ke sekolah. Memajangkan karya anak-anak di dinding sekolah sehingga memotivasi anak lain untuk berbuat yang sama. Di tangan seorang guru yang kreatif bagaimana sebuah pelajaran yang "pahit" dapat disulap menjadi bombon yang nikmat. Alangkah mengherankan bagaimana sebuah kelas bahasa sama suasananya dengan kelas Matematika. Padahal, kelas bahasa seharusnya diwarnai "kegaduhan kreatif karena murid-murid diajar berpidato, berdiskusi, bersanjak atau bersosiodrama.
Kadang-kadang masyarakat tidak sabar dan ingin melihat hasil murid di akhir tahun pelajaran. Padahal sistem pembelajaraan memerlukan penyesuaian, dan mengubah kebiasaan lama kepada yang baru memerlukan waktu. Mengharapkan nilai ujian akhir atau UN (Ujian Nasional) yang tinggi dengan pendekatan kurikulum berbasis kompetensi adalah tidak mungkin. Sama halnya Leonal Messi pesepakbola Barca tidak mungkin produktif menjebol gawang lawan kalau tidak berlatih dan belajar setiap waktu. Semuanya memerlukan proses berkesinambungan. Sejak awal belajar di sekolah dasar sampai murid tamat sekolah adakah guru tidak merasa berdosa meluluskan anak yang tak tahu apa-apa? Hal ini tak ubahnya membiarkan anak di tengah jalan raya, sehingga disambar mobil di tengah jalan setelah tamat sekolah dia tak tahu entah hendak kemana.
Di sini adanya baiknya diangkat kajian Allfin Toffler (1989) tentang dunia pendidikan. Beliau secara tajam telah menyoroti bahwa peristiwa yang terjadi di sekolah, seperti bunyi bel pertanda masuk sekolah, bel ganti pelajaran atau pulang, murid yang duduk dalam barisan kelas, otoritas guru, membuktikan bahwa mereka berada di sekolah dan bukan di luar sekolah. Para lulusan sekolah menjadi golongan produktif yang tidak siap pakai, dan mereka terpaksa sekian bulan bahkan sekian tahun harus dibuang untuk belajar lagi. Sering terjadi bawahan enggan mengeluarkan pendapat, apalagi yang agak berbeda dari atasannya, sebaliknya atasan bersikap menguasai bawahannya. Bukankah hal ini akibat suasana sekolah tadi? Toffler menyatakan, adanya belajar, kerja, pulang kerja, absensi di kantor, hampir dapat dikatakan sebagai duplikat sekolah. Semua serba diatur, semua dilakukan secara pukul rata, secara kodian. Kebebasan yang merupakan induk kreativitas hampir-hampir dilupakan. Inilah yang disebut beliau sebagai pendidikan masa perindustrian dan masa industri sebagai gelombang kesatu dan kedua.
Pendidikan kodian itu mungkin tidak menimbulkan masalah bagi masyarakat praindustri. Namun, semakin dalam ia tercelup dalam lembah industrialisasi dan bakal menunju pendidikan era informasi, pola pendidikan tadi menjadi penghambat. Lalu timbul pertanyaan, pendidikan manakah yang cocok bagi masyarakat modern?
Alfin Toffler menawarkan terapi (efek penyembuhan) yakni sistem pendidikan harus disesuaikan dengan perubahan dan tuntutan zaman antara lain salah satu ciri zaman mendatang ialah pesatnya perubahan. Orang dituntut untuk meramal (berdasarkan informasi, bukan pula harus menujum) dalam mengambil keputusan dari sekian banyak pilihan. Beliau menjelaskan dewasa ini kita masih terlalu terpaku dan mendalami masa lalu, kurang menghayati masa kini, sedangkan masa depan hampir-hampir tak dipedulikan. Akibatnya pandangan murid terhadap masa depan menjadi tak menentu (setelah tamat SMA hendak kemana). Murid bingung mau kemana setelah tamat sekolah.
Tidak mengherankan mengapa kita lebih banyak menguasai dan mudah berbicara tentang masa lalu dibandingkan masa depan. Padahal dalam pantun klasik ada dikatakan: Apa tanda pohon penyengat/ia bersarang di ujung dahan/ Apa tanda orang pengingat / bijak meramal masa depan.
Pendidikan yang berwawasan ke depan akan membuat seorang anak siap menghadapi masa depannya. Pada umumnya ini menurut penelitian ahli psikologi, bahwa pekerjaan seseorang maju pesat jika diberi informasi yang akan datang. Misalnya menjawab pertanyaan sukar dalam ujian, menghadapi permasalahan pribadi, belajar menyetir mobil, dan lain-lain.
Seorang anak, menurut sosiolog Benyamin S Singer, tidak hanya memiliki bayangan dirinya sendiri saat ini, tetapi juga apa yang dicita-citakannya di masa depan.Tokoh masa depan ini akan menarik si anak yang sekarang kearah realisasi cita-citanya tersebut.
Di masa depan, pedidikan tidak hanya terbatas pada jenjang sekian puluh tahun, tetapi dapat belajar seumur hidup. Oleh karena itu, anak tak lagi dituntut belajar sepanjang hari, tetapi belajar sambil bekerja, pendidikan tidak lagi bertumpu di sekolah, dan peranan orang tua semakin besar (pendidikan informal di rumah) sistem belajar akan berubah menjadi lebih kreatif, yakni tidak lagi terutama mendengar ceramah yang panjang dan kadangkala menguras otak habis-habisan. Untuk memulihkan kemampuan daya serap otak telah tersedia obat-obatan dan diet khusus. Orang buta huruf masa depan bukanlah orang yang tidak mengerti membaca atau menulis, tetapi orang yang belum menguasai atau tidak dapat belajar tentang cara belajar.
Guru pengajar tidak harus makhluk hidup atau manusia. Semua mesin pengajar bakal mampu menandingi guru dari segi kecepatan, ketepatan, kerapian sebagaimana yang dilakukan komputer.Yang jelas kelak sebagian besar sistem kehidupan dalam masyarakat akan dijalankan robot atau dengan otomatisasi. Jadi, pekerja yang diperlukan hanya segelintir orang sebagai pengawas. Yang lain dapat menganggur ibarat masa perbudakan dahulu. Namun, perbudakan masa depan bukanlah manusia, yang ada hanya perbudakan mesin-mesin canggih. Mesin-mesin membuat kehidupan lebih manusiawi karena perkerjaan tak manusiawi ditangani oleh mesin. Lalu bagaimana peran pendidikan karakter yang berbasis manusiawi tadi?
Samuel Coocey (pakar pendidikan UNESCO) pernah menyatakan kegagalan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai santun dan bermoral selayaknya diambil alih oleh sekolah. Namun, kenyataan menunjukkan sekolah pun tidak mampu menanggulanginya.
Banyak dunia sekolah yang telah mengecewakan banyak orang negara-negara Afrika bahkan sebahagian di kawasan Asia dewasa ini pendidikan hanya diarahkan untuk menjejalkan mata pelajaran guna menghadapi ujian.
Di sekolah murid yang baik tidak lain hanyalah anak yang dapat mengerjakan pelajaran sekolahnya dengan baik dan berhasil memperoleh angka tertinggi dalam ujian.
Sedangkan hal lain yang dulunya diajarkan juga di sekolah misalnya pendidikan karakter atau moral dan budi pekerti tidak ada waktu diluangkan untuk mengajarkah hal itu sekarang.
Malahan di beberapa sekolah tidak disediakan waktu khusus agar murid-murid dapat melakukan berbagai permainan karena dianggap terlalu banyak menyita waktu, sedangkan waktu yang ada hanya dimanfaatkan agar murid lulus menghadapi ujian akhir. Dengan demikian pendidikan bukanlah jawaban kecuali bila benar-benar merupakan jenis pendidikan yang tepat.
Sebagai penutup dikutipkan sebuah sajak yang indah di bawah ini (Eka Budianta; 1989): Cobalah pada suatu malam membayangkan/menjadi seorang bapak dari dua ratus juta anak/yang berbeda-beda watak dan kegemarannya/cobalah berlaku adil bijak/dan sayang pada mereka/katakanlah, Tuhan akan kecewa bila mereka/saling membenci dan berkelahi/menyusuri jalan yang sunyi di bawah bintang-bintang/masa depan anak-anakmu barangkali bisa terbayang.
Didaktik Khusus
Tugas guru di samping menguasai bahan yang diajarkan ia juga harus mampu menguasai didaktik atau cara menyampaikan. Sebagai contoh mengapa nilai Matematika gagal karena guru kurang mampu menguasai didaktik. Persoalan serius yang perlu menjadi perhatian bersama saat ini adalah belum adanya didaktik khusus dalam proses belajar-mengajar. Pada tahun 60-an sampai 70-an di kota Medan terkenal dengan tokoh "tukang koyok" yang beroperasi di lapangan Merdeka (kini berubah menjadi Merdeka Walk). Mereka mampu memikat publik pendengar dengan bahasa dan cara-cara mereka menjual obat-obat dan "minyak karuhun".
Publik melihat bagaimana sang tukang koyok menjual minyak untuk penawar bisa ular. Dia membawa seekor ular tiung dan berkali-kali mematuk lidah sang penjual obat. Namun, sang penjual secepatnya membasahi lidahnya dengan minyak karuhun tadi sehingga darah berhenti mengalir dan tanpa menimbulkan bahaya. Setelah itu barulah dia menjajakan barangnya ke sekeliling penonton. Hal inipun dapat dilakukan sekarang ini akan tetapi bukan dengan cara "tukang koyok" Lapangan Merdeka. Dengan kecanggihan teknologi komputer penerbitan buku-buku teks pelajaran dapat dibantu dengan seperangkat gambar dan animasi yang membawa "sang murid" ke dunia konkret" dunia nyata" dan sehari-hari yang berwawasan penerapan (aplikasi). Jadi telah terjadi gabungan antara teori dengan aplikasi.
Perilaku ala "tukang koyok" tadi dapat, menjadi perbandingan guru utuk mengambil pelajaran yakni bagaimana cara yang efektif untuk memikat murid di dalam kelas. Sekarang banyak "barang lama" dilupakan guru di sekolah dasar. Misalnya menghitung dengan membawa lidi ke sekolah. Memajangkan karya anak-anak di dinding sekolah sehingga memotivasi anak lain untuk berbuat yang sama. Di tangan seorang guru yang kreatif bagaimana sebuah pelajaran yang "pahit" dapat disulap menjadi bombon yang nikmat. Alangkah mengherankan bagaimana sebuah kelas bahasa sama suasananya dengan kelas Matematika. Padahal, kelas bahasa seharusnya diwarnai "kegaduhan kreatif karena murid-murid diajar berpidato, berdiskusi, bersanjak atau bersosiodrama.
Kadang-kadang masyarakat tidak sabar dan ingin melihat hasil murid di akhir tahun pelajaran. Padahal sistem pembelajaraan memerlukan penyesuaian, dan mengubah kebiasaan lama kepada yang baru memerlukan waktu. Mengharapkan nilai ujian akhir atau UN (Ujian Nasional) yang tinggi dengan pendekatan kurikulum berbasis kompetensi adalah tidak mungkin. Sama halnya Leonal Messi pesepakbola Barca tidak mungkin produktif menjebol gawang lawan kalau tidak berlatih dan belajar setiap waktu. Semuanya memerlukan proses berkesinambungan. Sejak awal belajar di sekolah dasar sampai murid tamat sekolah adakah guru tidak merasa berdosa meluluskan anak yang tak tahu apa-apa? Hal ini tak ubahnya membiarkan anak di tengah jalan raya, sehingga disambar mobil di tengah jalan setelah tamat sekolah dia tak tahu entah hendak kemana.
Di sini adanya baiknya diangkat kajian Allfin Toffler (1989) tentang dunia pendidikan. Beliau secara tajam telah menyoroti bahwa peristiwa yang terjadi di sekolah, seperti bunyi bel pertanda masuk sekolah, bel ganti pelajaran atau pulang, murid yang duduk dalam barisan kelas, otoritas guru, membuktikan bahwa mereka berada di sekolah dan bukan di luar sekolah. Para lulusan sekolah menjadi golongan produktif yang tidak siap pakai, dan mereka terpaksa sekian bulan bahkan sekian tahun harus dibuang untuk belajar lagi. Sering terjadi bawahan enggan mengeluarkan pendapat, apalagi yang agak berbeda dari atasannya, sebaliknya atasan bersikap menguasai bawahannya. Bukankah hal ini akibat suasana sekolah tadi? Toffler menyatakan, adanya belajar, kerja, pulang kerja, absensi di kantor, hampir dapat dikatakan sebagai duplikat sekolah. Semua serba diatur, semua dilakukan secara pukul rata, secara kodian. Kebebasan yang merupakan induk kreativitas hampir-hampir dilupakan. Inilah yang disebut beliau sebagai pendidikan masa perindustrian dan masa industri sebagai gelombang kesatu dan kedua.
Pendidikan kodian itu mungkin tidak menimbulkan masalah bagi masyarakat praindustri. Namun, semakin dalam ia tercelup dalam lembah industrialisasi dan bakal menunju pendidikan era informasi, pola pendidikan tadi menjadi penghambat. Lalu timbul pertanyaan, pendidikan manakah yang cocok bagi masyarakat modern?
Alfin Toffler menawarkan terapi (efek penyembuhan) yakni sistem pendidikan harus disesuaikan dengan perubahan dan tuntutan zaman antara lain salah satu ciri zaman mendatang ialah pesatnya perubahan. Orang dituntut untuk meramal (berdasarkan informasi, bukan pula harus menujum) dalam mengambil keputusan dari sekian banyak pilihan. Beliau menjelaskan dewasa ini kita masih terlalu terpaku dan mendalami masa lalu, kurang menghayati masa kini, sedangkan masa depan hampir-hampir tak dipedulikan. Akibatnya pandangan murid terhadap masa depan menjadi tak menentu (setelah tamat SMA hendak kemana). Murid bingung mau kemana setelah tamat sekolah.
Tidak mengherankan mengapa kita lebih banyak menguasai dan mudah berbicara tentang masa lalu dibandingkan masa depan. Padahal dalam pantun klasik ada dikatakan: Apa tanda pohon penyengat/ia bersarang di ujung dahan/ Apa tanda orang pengingat / bijak meramal masa depan.
Pendidikan yang berwawasan ke depan akan membuat seorang anak siap menghadapi masa depannya. Pada umumnya ini menurut penelitian ahli psikologi, bahwa pekerjaan seseorang maju pesat jika diberi informasi yang akan datang. Misalnya menjawab pertanyaan sukar dalam ujian, menghadapi permasalahan pribadi, belajar menyetir mobil, dan lain-lain.
Seorang anak, menurut sosiolog Benyamin S Singer, tidak hanya memiliki bayangan dirinya sendiri saat ini, tetapi juga apa yang dicita-citakannya di masa depan.Tokoh masa depan ini akan menarik si anak yang sekarang kearah realisasi cita-citanya tersebut.
Di masa depan, pedidikan tidak hanya terbatas pada jenjang sekian puluh tahun, tetapi dapat belajar seumur hidup. Oleh karena itu, anak tak lagi dituntut belajar sepanjang hari, tetapi belajar sambil bekerja, pendidikan tidak lagi bertumpu di sekolah, dan peranan orang tua semakin besar (pendidikan informal di rumah) sistem belajar akan berubah menjadi lebih kreatif, yakni tidak lagi terutama mendengar ceramah yang panjang dan kadangkala menguras otak habis-habisan. Untuk memulihkan kemampuan daya serap otak telah tersedia obat-obatan dan diet khusus. Orang buta huruf masa depan bukanlah orang yang tidak mengerti membaca atau menulis, tetapi orang yang belum menguasai atau tidak dapat belajar tentang cara belajar.
Guru pengajar tidak harus makhluk hidup atau manusia. Semua mesin pengajar bakal mampu menandingi guru dari segi kecepatan, ketepatan, kerapian sebagaimana yang dilakukan komputer.Yang jelas kelak sebagian besar sistem kehidupan dalam masyarakat akan dijalankan robot atau dengan otomatisasi. Jadi, pekerja yang diperlukan hanya segelintir orang sebagai pengawas. Yang lain dapat menganggur ibarat masa perbudakan dahulu. Namun, perbudakan masa depan bukanlah manusia, yang ada hanya perbudakan mesin-mesin canggih. Mesin-mesin membuat kehidupan lebih manusiawi karena perkerjaan tak manusiawi ditangani oleh mesin. Lalu bagaimana peran pendidikan karakter yang berbasis manusiawi tadi?
Samuel Coocey (pakar pendidikan UNESCO) pernah menyatakan kegagalan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai santun dan bermoral selayaknya diambil alih oleh sekolah. Namun, kenyataan menunjukkan sekolah pun tidak mampu menanggulanginya.
Banyak dunia sekolah yang telah mengecewakan banyak orang negara-negara Afrika bahkan sebahagian di kawasan Asia dewasa ini pendidikan hanya diarahkan untuk menjejalkan mata pelajaran guna menghadapi ujian.
Di sekolah murid yang baik tidak lain hanyalah anak yang dapat mengerjakan pelajaran sekolahnya dengan baik dan berhasil memperoleh angka tertinggi dalam ujian.
Sedangkan hal lain yang dulunya diajarkan juga di sekolah misalnya pendidikan karakter atau moral dan budi pekerti tidak ada waktu diluangkan untuk mengajarkah hal itu sekarang.
Malahan di beberapa sekolah tidak disediakan waktu khusus agar murid-murid dapat melakukan berbagai permainan karena dianggap terlalu banyak menyita waktu, sedangkan waktu yang ada hanya dimanfaatkan agar murid lulus menghadapi ujian akhir. Dengan demikian pendidikan bukanlah jawaban kecuali bila benar-benar merupakan jenis pendidikan yang tepat.
Sebagai penutup dikutipkan sebuah sajak yang indah di bawah ini (Eka Budianta; 1989): Cobalah pada suatu malam membayangkan/menjadi seorang bapak dari dua ratus juta anak/yang berbeda-beda watak dan kegemarannya/cobalah berlaku adil bijak/dan sayang pada mereka/katakanlah, Tuhan akan kecewa bila mereka/saling membenci dan berkelahi/menyusuri jalan yang sunyi di bawah bintang-bintang/masa depan anak-anakmu barangkali bisa terbayang.
Saturday, February 16, 2013
Manajemen Pendidikan
PENGARUH KEPRIBADIAN DAN KEADILAN TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Deskripsi
Konseptual
1. Komitmen
Oraganisasi
Salah
satu pilar dunia pendidikan adalah sekolah. Menurut Hoy dan Miskel, sekolah
merupakan organisasi pelayanan yang
berkomitmen pada pengajaran dan pembelajaran. Sekolah, berbeda dengan jenis
organisasi lainya, harus jadi organisasi pembelajaran (learning organization).[1]Menurut
Senge, Organisasi pembelajaran merupakan tempat di mana peserta didik secara
terus menerus memperluas kecakapanya untuk mencipta dan mencapai, tempat untuk
mendorong pola-pola pemikiran baru, tempat aspirasi kilektif dipejari, tempat
peserta didik belajar bagaimana belajar bersama, dan tempat organisasi
memperluas kecakapanya untuk berinovasi dan memecahkan permasalahan. Sementara
itu Leithwood dan Louis memandang organisasi pembelajaran sebagai tempat di
mana peserta didik mengejar tujuan bersama dengan komitmen kolektif untuk
secara terus menerus mengevaluasi nilai tujuan, melakukan modifikasi agar
sesuai, dan secara berlekalanjutan mengembangkan cara-cara yang lebih efektif
dan efisien untuk mencapai tujuan.[2]
Di
sini terlihat bahwa sekolah sebagai organisasi pembelajaran bukan hanya
berkutat pada urusan pengajaran yang pada umumnya diperankan oleh guru, akan
tetapi lebih dari itu juga menjangkau area pembelajaran dan memungkinkan
individu (peserta didik) memperluas kecakapanya untuk mencipta dan mencapai,
mendorong pola-pola pemikiran baru, aspiratif kolektif dipelajari, belajar
bersama, dan memecahkan masalah, bahkan mengejar tujuan bersama dengan komitmen
kolektif untuk secara kontiniu mengevaluasi nilai tujuan, meakukan modifikasi,
dan secara berkelanjutan mengembangkan cara-cara yang lebih efektif dan efisien
untuk mencapai tujuan. Sekolah sebagai organisasi pembelajaran melibatkan dan
memberikan peluang sebesar-besarnya bagi warga sekolah untuk belajar bersama,
memperjuangkan tujuan bersama-sama, dan akhirnya menikmati hasilnya secara
bersama-sama pula. Dengan demikian, jelaslah kiranya bahwa sekolah merupakan
organisasi yang memerlukan komitmen dari seluruh anggoatanya.
Komitmen
organisasi sebagaimana yang definisikan oleh Colquitt, Lapine dan Wesson, “organizational commitment is the desire on
the part of an employed to remain of the organization.[3]
Komitmen organisasi adalah keinginan yang kuat dari pihak karyawan untuk tetap
menjadi anggota organisasi. Ketika karyawan mempunyai mempunyai keinginan yang
kuat untuk bertahan menjadi anggota organisasi mungkin alasanya karena
menginginkan (want to stay),
membutuhkan (need to stay), atau
merasa berkeharusan (feel ought to stay),
berada dalam atau menjadi bagian dari organisasi.
Komitmen
organisasi akan berpengaruh terhadap sikapnya akan tetap menjadi anggota
organisasi atau keluar dan mencari wadah lain atau pekerjaan lain. Orang yang
meninggalkan organisasi baik secara terpaksa maupun sukarela (voluntary or involuntary turnover)
adalah mereka yang tidak atau kurang memiliki komitmen organisasi. Karyawan yang tidak memiliki
komitmen organisasi yang kuat akan memperlihatkan perilaku yang disebut dengan withdrawal behavior.[4]
Colquitt,
Lepine dan Wesson menyebutkan ada tiga jenis komitmen organisasi, yaitu:
pertama affective commitment merupakan
keinginan kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi karena adanya ikatan
emosional (emotion-based reasons)dengan
sesama karyawan, dan keterlibatan dalam organisasi. Kedua, continuance commitment dijelaskan sebagai keinginan yang kuat untuk
tetap menjadi anggoata organisasi karena adanya kesadaran akan kerugian atau
kehilangan (cost-based reasons) yang
timbul bila meninggalkan organisasi, sehingga perlu merasa bertahan menjadi
bagian dari organisasi. Ketiga, normative
commitment merupakan keinginan kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi
karena merasa berhutang kepada organisasi (obligation-based
reasons) sehingga merasa berkewajiban itu.[5]
Jadi bagi seorang karyawan yang memiliki komitmen organisasi, ia memiliki
keinginan yang kuat untuk tetap bnertahan menjadi anggota organisasi meskipun
alasanya mungkin karena emotion-based
reasons, cost-based reason atau obligation-based
reason.
Shaw,
Delery & Abdulla memandang komitmen organisasi sebagai hasil dari investasi
atau kontribusi terhadap organisasi, atau suatu pendekatan psikologi yang
menggambarkan suatu hal yang positif, keterlibatan yang tinggi, orientasi
intensitas tinggi terhadap organisasi.[6]
Sedangkan Benkhoff melihat komitmen organisasi sebagai derajat kepedulian
karyawan dan kontribusinya terhadap keberhasilan organisasi.[7]
Pandangan
yang tidak jauh berbeda juga disampaikan oleh pakar-pakar yang lain. Newstrom
misalnya menyatakan bahwa komitmen ogranisasi adalah suatu tingkat atau derat
identifikasi diri pegawai denagn
organisasi dan keinginan-keinginanya untuk meneruskan partisipasi aktifnya dalam
organisasi.[8]
Kemudian Bishop, Scott & Burroughs memberikan definisi komitmen organisasi
sebagai kekuatan relative dari identifikasi individu bersama dan keterlibatanya
dengan organisasi.[9]
Sedangkan Lhutans mengatakan:
“organizational commitment is most
often defined as a strong to remain a member of a particular organization; a
willingness to exert high of effort on behalf of the organizion; and a definite
believe in, and acceptance of, the values and goals of the organization.[10]
Jadi menurut Luthans bahwa
komitmen organisasi merupakan suatu hasrat yang kuat untuk tetap menjadi
anggota organisasi; suatu keinginan untuk menunjukan usaha tingkat tinggi atas
nama organisasi; dan keyakinan yang kuat dalam menerima nilai-nilai dan
tujuan-tujuan organisasi. Dengan kata lain
pengertian yang diberikan Lhutans ini merupakan sikap yang merefleksi loyalitas
karyawan terhadap organisasi dan merupakan proses yang berlanjut di mana
anggota organisasi menunjukan kepedulianya kepada organisasi.
Gibson, James L., et.al mendefinisikan komitmen
adalah, “a sense of indecfication,
loyalty, and involvement expresednby an employee toward the organization or
unit of the organization”.[11] Menurut mereka ini
komitmen terhadap organisasi mencakup tiga sikap: (1) rasa keberpihakan kepada
tujuan organisasi, (2) perasaan keterlibatan dengan tugas-tugas organisasi, (3)
persaan loyal terhadap organisasi. Ditegaskan pula bahwa tidak adanya komitmen
akan dapat mengurangi efektivitas kerja organisasi.
Slocum dan Hellriegel memberikan definisi komitmen
organisasi dengan mengatakan bahwa, “organizational
commitmentbis the strength of an employee’s involvement in the organization and
identification with it”.[12] Komitmen organisasi
adalah kuatnya keterlibatan karyawan di dalam organisasi dan keberpihakan
kepada organisasi.
Karyawan atau anggota yang bertahan lebih lama dengan
organisasi cenderung memiliki komitmen lebih dibangdingkan dengan karyawan atau
anggota yang hanya bekerja dalam kurun waktu yang lebih pendek. Komitmen
organisasi yang kuat lazim ditandai dengan beberapa hal, seperti: (1)
penerimaan dan dukungan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi, (2)
bersedia berusaha sekuat tenaga atas nama organisasi, (3) keingina yang kuat
untuk tetap menjadi bagian dari organisasi.
Berdasarkan uraian definisi dan pengertian dari para
ahli di atas, dapat disintesiskan komitmen organisasi adalah keinginan kuat
dari karyawan atau anggota organisasi untuk tetap menjadi anggota atau bagian
dari sutu organisasi dengan menunjukan sikap kepedulian, keterlibatan
yang tinggi, orientasi intensitas tinggi,
dan loyalitas terhadap organisasi guna mewujudkan tujuan organisasi.
2. Kepribadian
Kepribadian merupakan bagian dari kehidupan manusia
yang sangat penting vdan vital, tetapi juga sekaligus kompleks sehingga
dipersepsi oleh para pakar secara beragam pula.
Menurut Alport mendefinisikan kepribadian, “personality is dynamic organization whitin individual of
those psychophysical systems that determine his unique adjustments to his
environment”. Kepribadian adalah organisasi dinamis dari sistim-sistem
psikofisik di dalam diri manusia yang turut membentuk pola prilaku, pikiran dan
perasaan seseorang secara unik atau khas dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungan.[13]
Dari definisi tadi Carver dan Scheiver mencatat enam hal penting terkait dengan
kepribadian, yaitu: (1) kepribadian bukanlah kumpulan dari potongan-potongan,
tetapi memiliki organisasi, (2) kepribadian tidak hanya berada dalam satu
tempat namun memiliki beberapa jenis proses, (3) meskipun sebagai konsep
psikologis, namun kepribadian tidak dapat dipisahkan dari fisik tubuh, (4)
kepribadian merupakan kekuatan penyebab yang membantu mementukan bagaimana
seseorang berhubungan dengan dunia, (5) kepribadian muncul dari pola-pola
berbeda antar individu yang bersifat tumbuk kembali dan konsisten, dan (6)
kepribadian tidak hanya nampak dalam satu cara, tetapi dalam banyak cara, yaitu
dalam prilaku, tindakan dan perasaan.[14]
Bani Passer dan Smith, kepribadian adalah cara
berpikir, merasakan dan bertindak yang berbeda dab bertahan relative lama yang
mencirikan tanggapan seseorang terhadap situasi hidup. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa pikiran, perasaan, dan tindakan tersebut terlihat sebagai refleksi dari
kepribadian individu yang secara khusus memiliki tiga kharakteristik. Pertama,
kepribadian terlihat sebagai kemampuan perilaku dan identitas yang berbeda
antara yang satu dengan yang lainya. Kedua, perilaku dipandang sebagai suatu
hal yang lebih disebabkan oleh lingkungan internal dibanding lingkungan
eksternal. Ketiga, perilaku seseorang nampak mempunyai organisasi yang
terstruktur.[15]
Menurut McKeenna, kepribadian berisikan kualitas
fisik, mental, moral dan social dari individu, kualitas-kualitas tersebut
bersifat dinamis dan terintegrasi, yang dapat diamati oleh orang lain dalam
kehidupan sehari-hari. Kepribadian yang meliputi sifat-sifat alamiah individu
dan dorongan-dorongan kebiasaan, kepentingan, sentiment, ide-ide, dan
keyakinan-keyakinan yang diproyeksikan ke dunia luar.[16]
Pandangan lain tentang kepribadian dikemukakan oleh
Ciccarelli dan Mayer, kepribadian adalah cara seseorang yang unik dan relative stabil dalam berpikir dan
bertindak.[17]
Dari berbagai batasan pengertian dan definisi di atas
tampak bahwa kepribadian merefleksikan kualitas fisik, mental, moral dan social
individu yang dinamis dan terintegrasi yang termanifestasikan dalam cara
berpikir, mersakan dan bertindak secara unik dan stabil yang mencirikan
seseorang terhadap kondisi kehidupan.
Kepribadian seseorang dapat diukur, menurut Passer dan
Smith ada lima metode yang dapat digunakan untuk menilai kepribadian seseorang,
yaitu: 1) wawancara (interviews), 2)
penilaian perilaku (behavioral assessment),
3) sampel perilaku jarak jauh (remote
behavior sampling), 4) skala kepribadian (personality scales) dan 5) penyujian proyektif (projevtive test).[18]
Kepribadian juga dibagi ke dalam lima dimensi. Dalam
Faktor Model kepribadian (The five
Factors Model Of Personality). Dalam teori ini dijelaskan dimensi
kepribadian antara lain :
Pertama, surgensi (surgency) yang sering
disebut juga sebagai dimensi kepercayaan diri, kebutuhan uintuk berkuasa dan
dinamis. Seperti halnya pola perilaku yang sering muncul ketika seseorang
mencoba untuk mempengaruhi atau mengendalikan orang lain, maka individu yang
memiliki surgensi tinggi atau bersikap ramah, vepat mengambil keputusan, penuh
pengaruh dan percayua diri.
Kedua, keramahtamahan (agreeableness) yang juga
dikenal dengan istilah empati, keakraban, sensivikasi interpersonal atau
kebutuhan berafiliasi. Dimensi ini berhubungan dengan bagaiman keguanaan
seseorang mendapatkan pergaulan yang akrab dengan orang lain, yang merupakan
lawan dari keinginan untuk mendapatkan yang terdepan.
Ketiga, dapat dipercaya (dependability) yang
disebut juga dengan kekonsistensian atau kesadaran. Dimensi ini tidak hanya
melibatkan interaksi dengan orang lain, tetapi lebih berhubungan dengan pola
perilaku ynag terkait dengan pendekatan sesorang dengan pekerja.
Keempat, penyesuaian (adjustment) dikenal juga
dengan Neorotikisme, stabilitas emosional atau kendali diri. Dimensi
kepribadian ini berhubungan dengan bagaimana reaksi seseorang terhadap stress,
kegagalan, atau kritisisme pribadi.
Kelima, keterbukaan terhadap pengalaman (openness
to experience) dikenal juga dengan kecerdasan, kengintahuan, dan pendekatan
pembelajaran.[19]
Dalam literatur lain dijelaskan pula The Big Five
Dimention of Personality dimensi kepribadian meliputi:
a. Conscientioness
atau kesadaran, yaitu sejauhmama kesadaran individu memiliki keinginan untuk
bekerja keras, disiplin, dapat dipercaya dan tekun.
b. Extraversion atau
ekstraversi adalah derajat asertivitas kemauan bersahabat dan kemampuan untuk
bersosialisasi antar vindividu.
c. Agreeableness atau
keramahtamahan, yaitu tingkat kerjasama dan kehangatan individu.
d. Emotional stability atau stabilitas emosi adalah derajat ketenangan, kepercayaan diri dan
rasa aman.
e. Openness to experience atau keterbukaan terhadap pengalaman, yaitu tingkat
kreatifitas, keingintahuan dan kebudayaan.[20]
Selain itu terdapat pula dimensi kepribadian lain dari
Eysenck atau dikenal dengan eysenck’s Approach. Dimensi ini terbagi
dalam dua kategori yang masing-masing berpasangan, yaitu introversi-ektroversi
(intaversion-extraversion) dan emosionalitas-stabilitas (emotionality-stability)
atau disebut pula dengan neorotikisme. Eysenck menekankan bahwa individu
memiliki kecxendrungan eksrovert tetapi memiliki emosi stabil akan menghasilkan
kepribadian soaibilitas, ramah, banyak bicara, responsive, mudah bergaul,
lincah, peduli dan berjiwa pemimpin.[21]
Dari berbagai uraian definisi dan pengertian di atas,
maka dapat disintesiskan kepribadian adalah refleksi kualitas fisik, mental,
moral dan social individu yang dinamis dan terintegrasi, yang termanifestasikan
ke dalam cara berpikir, merasakan dan bertindak secara unik dan stabil yang
mencirikan seseorang terhadap kondisi hidup yang meliputi aspek-aspek:
kesadaran (conscientiousness),
ekstraversi (extravertion),
keramahtamahan (agreeableness),
stabilitas emosional (emotional stability)
dan keterbukaan terhadap pengalaman (opinnese to experience).
3. Keadilan
Keadilan
yang dibicarakan di sini adalah keadilan yang terdapat dalam organisasi, yaitu
yang biasa disebut dengan organizational
justice. Keadilan di sini meliputi seluruh sisi dari imbalan yang dimaksud:
psikologi, sosial
dan ekonomi.
Menurut
J. Stacy Adam’s dalam teori
kepatuhan dalam Newstrom bahwa
karyawan cenderung menilai
keadilan dengan membandingkan yang mereka terima dengan masukan (inputs) yang mereka berikan dan juga
dengan membandingkan antara rasio outcomes
berbanding inputs yang
dimilikinya dengan yang dimiliki orang lain. Newstrom juga menjelaskan bahwa inputs mencakup berbagai elemen yang
dimiliki dan diberikan oleh karyawan terhadap pekerjaanya seperti: pendidikan,
senioritas, pengalaman kerja, loyalitas dan komitmen, waktu dan tenaga, dan
kinerja (inputs include all the rich and
diverse elements that employees believe they bring, or contribute, to the
job-their education, seniority, pior work experience, loyality and commitmet,
time and effort, creativity, and job performance). Sedangkan outcomes lanjut Newstrom, adalah imbalan
yang diperoleh dari pekerjaan dan “boss” yang meliputi gaji dan bonus, keuntungan
tambahan, keamanan kerja, imbalan yang bersifat social, dan imbalan yang
bersifat psikologis.[22]
Menurut Robbins dan Judge keadilan adalah, “organizational justice is the overall
perception of what is fair in the workplace, composed of distributive, procedural,
and interactional justice”.[23] Jadi keadilan merupakan
persepsi secara keseluruhan dari apa yang dipandang adil di tempat kerja, yang
terdiri dari keadilan distributive, keadilan procedural dan keadilan
interaksional.
Keadilan distributif menjadi hal prtama yang
diperhatikan ketika terjadi pengalaman atau situasi ketidakadilan, di mana
ketidakadilan ini umumnya dalam hal upah dan pendapatan-pendapatan lainya.
Meskipun apa yang dipandang “adil” berbeda dari orang dan situasi yang berbeda.
Keadilan prosedural dipengaruhi oleh aturan-aturan
struktural dan aturan-aturan sosial. Aturan-aturan struktural mempresentasikan
kebijakan-kebijakan dan kebiasaan-kebiasaan yang harus diikuti oleh pengambil
keputusan. Aturan sosial berhubungan dengan seberapa baik pembuat keputusan
memperlakukan karyawan. Ada dua kata kunci yang berkaitan dengan keadilan
sosial, yaitu respek dan akuntabilitas.
Luthans mendefinisikan keadilan adalah merupakan
pengembangan dari Equity Theory (teori
kepatutan) yang mengisyaratkan bahwa seseorang haruslah memperoleh imbalan
secara proporsional sesuai dengan kontribusinya. Sedikit berbeda dengan Robbins
dan Judge, ia mengemukakan ada empat jenis keadilan, yaitu keadilan distributif
(distributive justice), keadilam
prosedural (procedural justice),
keadilan interpersonal (interpersonal
justice), dan keadilan informasional (informational
justice).
Colquitt, Lepine dan Wesson menggambarkan keadilan
dengan mengatakan:
“justice reflects the perceived
fairness of an authority’s decision making. When employees perceive high levels
of justice, they believe that decision outcomes are fair and that decision
making processes are designed and implemented in a fair manner. Justice concepts
van be used to explain why employees judge some authorities as more trustworthy
that others”.[24]
Lebih jauh lagi Colquitt, Lepine dan Wesson
menjelaskan bahwa kerap kali sulit untuk mengukur kompetensi, watak, dan
kebaikan dari pemegang otoritas dengan akurat terutama sekali pada periode awal
hubungan kerja. Dalam keadaan seperti itu yang diperlukan oleh karyawan adalah
semacam bukti perilaku yang bisa diamati yang menunjukan seorang pemegang
otoritas dapat dipercaya. Karyawan dapat menilai adilnya pengambilan keputusan
yang dilakukan pemegang otoritas melalui empat dimensi keadilan: keadilan
distributif, keadilan prosedural, keadilan interpersonal, dan keadilan
informasional.
Menurut Robbins dan Judge, keadilan distributif adalah
keadilan yang memiliki hubungan yang paling kuat dengan komitmen organisasi.
Keadilan prosedural berhubungan erat dengan kepuasan kerja, kepercayaan
karyawan, dan kinerja. Sementara untuk keadilan interaksional tidak terdapat
bukti yang cukup.[25] Oleh karena itu maka
keadilan yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini hanyalah keadilan
distributif.
Berdasarkan beberapa konsep di atas dapat
disintesiskan bahwa keadilan organisasi adalah persepsi seseorang terhadap
kejujuran atau keadilan yang dilakukan oleh pemegang otoritas di dalam
pengambilan keputusan tentang outcomes
yang diperolehnya.
B.
Kerangka
Teoretik
1.
Kepribadian dan Komitmen Organisasi
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Chang da Lee mendapatkan
bahwa sifat-sifat kepribadian positif (conscientiousness,
extraversion, neuroticism, agreeableness dan openness to experience)
memiliki hubungan yang signifikan engan komitmen organisasi.[26]
Penelitian lain juga dilakukan oleh Morrison yang menyimpulkan bahwa dimensi
kepribadian ekstraversi dan keramahtamahan memiliki hubungan positif dengan
komitmen organisasi.[27]
Dari uraian diatas, dapat diduga bahwa
terdapat pengaruh langsung
positif kepribadian terhadap komitmen organisasi.
2.
Keadilan dan Komitmen
Organisasi
Keadilan merupakan
persepsi secara keseluruhan dari apa yang dipandang adil di tempat kerja,
terutama yang menyangkut pengambilan keputusan tentang pendistribusian outcomes
seperti dalam pembagian upah, pemberian penghargaan, evaluasi, pembagian tugas
dan pemberian promosi. Sementara komitmen organisasi adalah keinginan dari
seseorang untuk tetap menjadi anggota atau bagian dari organisasi karena adanya
ikatan emosional yang kuat dengan organisasi.
Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Qolquitt, Lepine dan Wesson bahwa komitmen organisasi
dipengaruhi oleh beberapa factor, diantaranya adalah keadilan yang dapat mempengaruhi secara langsung terhadap
terbentuknya komitmen organisasi.[28]
Dari uraian diatas, dapat diduga bahwa
terdapat pengaruh langsung
positif keadilan terhadap komitmen
organisasi.
3.
Kepribadian dan Keadilan
Kepribadian adalah
refleksi kualitas fisik, mental, moral dan social individu yang dinamis dan
terintegrasi, yang termanifestasikan ke dalam cara berpikir, merasakan dan
bertindak secara unik dan stabil yang mencirikan seseorang terhadap kondisi
hidup yang meliputi aspek-aspek: kesadaran (conscientiousness),
ekstraversi (extravertion),
keramahtamahan (agreeableness),
stabilitas emosional (emotional stability)
dan keterbukaan terhadap pengalaman (opinnese to experience). Sementara
keadilan adalah persepsi seseorang terhadap kejujuran atau keadilan yang
dilakukan oleh pemegang otoritas di dalam pengambilan keputusan tentang
outcomes yang diperolehnya.
Keadilan adalah efek
yang dihasilkan dari sikap dan perilaku seseorang yang bersumber dari kesadaran
individual seseorang atau yang disebut sebagai kepribadian. Hal ini juga
dipertegas dalam teori yang dikemukakan oleh Qolquitt, Lepine dan Wesson yang
mengatakan bahwa keadilan dipengaruhi secara langsung oleh kepribadian.[29]
Dari uraian diatas, dapat diduga bahwa
terdapat pengaruh langsung
positif motivasi terhadap disiplin kerja.
C.
Hipotesis
Penelitian
Berdasarkan deskripsi konseptual
dan kerangka teoretik diatas,
maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat pengaruh langsung
positif Kepribadian terhadap
Komitmen Organisasi.
2. Terdapat langsung
positif Keadilan terhadap Komitmen
Organisasi.
3. Terdapat pengaruh langsung positif Kepribadian dan Keadilan.
[1] Wayne K. Hoy & Cecil G. miskel, Educational Administration: Theory, Research
and Practice (New York: McGraw Company, 2008), hh. 33-34.
[2]
Ibid., hh. 33-34
[3] Jasson A. Colquitt, Jeffery A. Lepine &
Michael J. Wesson, Organizational
Begavior: Improving, Performance and Commitment in the Workplace (New York:
McGraw-Hill, 2009), h. 67.
[4] Ibid., h.
67.
[5] Ibid.,
hh. 67-68.
[6] Shaw, Delery & Abdulla, “Oranizational
Comitment and Performance Among Guest Workers and Citizets of Arab Country,” Journal of Business Research, 56,2003,
h. 2.
[7] Benkhoff, “Ignoring Comitment Is Costly: New
Appoarches Estabilish the Missink Link Between Organizational Comitmen and
Performance,” Human Relation, 50,
(6), 1997, h. 3.
[8] Jhon W. Newstrom, Organization Behavior: Human Behavior at Work, 12ᵗᵗʰ edition
(Boston: Mcgraw Hill, 2007), h. 207.
[9] Bishop, Scott & Burroughs, “Suport
Comitment and Employee Outcomes in a Team Enviroment,” Journal Management, 26 (6), 2002, h. 2.
[10] Fred Lhutans, Organizational Behavior, 11ᵗᵗʰ
(Boston: McGraw-Hill, 2008), h. 147-148.
[11] Jams L Gibson, et.al, Organizations: Behavior, Structure, Processes, Twelve Edition
(Boston: McGraw-Hill Irwin, 2006), h. 184.
[12] Jhon W. Slocum, Jr. dan Don Hellriegel, Principles of Organizatioal Behavior (New
York: South-Western, 2009), h. 57.
[13] Charles S. Carver & Michael F. Scheiver, Perspectiva on Personality (Boston:
Person Education, Inc., 2008), h. 5.
[14] Ibid.,
h. 5
[15] Michael W. Passer & Ronald E. Smith, Psychology: The Science of Mind and Behavior
(New York: McGraw-Hill, 2007), h. 442.
[16] McKenne, Eugene, Business and Psychology: Organizational Behavior (New York:
Psychology Press, 2006), h. 28.
[17] Sandra K. Ciccarelli & Glena E. Mayer, Psychology (New Jersey: Prentice Hall,
2006), h. 444.
[18] Michael W. Passer & Ronald E. Smith, . hh.
479-482.
[19]
Hugles, Ginnett & Curphy, Leadership : Enhacing the Lessons of
Experience (New York: McGraw-Hill Companies, Inc., 2009), h. 205.
[20]
Jerald Greenberg dan Robert A. Baron, Behavior In Organizational (New
Jersey: Prentice Hall, 2003), h. 85.
[21]
H. 50.
[22] Jhon W. Newstrom, Organization Behavior: Human Behavior at
Work, 12ᵗᵗʰ edition (Boston: Mcgraw Hill, 2007), h. 120.
[23] Robbins and Judge, Organizational (ghjjjjjdjjyd), p. 229.
[24] Colquitt, lepine dan Wesson, op.
cit., h. 219.
[25] Robbins and Judge, op.cit., h. 230.
[26]
Su-Chao Chang & Ming-Shing Lee, “Relationships
Among personality Traits, Job Characteristies, Job Setisfaction and
Organizational Commitment: an Empirical Study in Taiwan,” The Business
Review (Cambridge, Hollywood: Dee 2006. Vol. 6.,Iss. 1), h. 201.
[27]
Kimberleey A. Morrison, “How Franchisor
Relations and Personality Affects Performance, Organizational Commitment,
Franchisor Relation, and Intention to Remain.” Journal Of Small Bussiness
Management, Jul 1997, Vol. 35 : No. 3 ; ABI/INFORM GLOBAL), h. 39.
[28]
Qolquitt, Lepine, dan Wesson, Op. Cit., h.
8.
[29]
Ibid.
Subscribe to:
Posts (Atom)