Sunday, February 24, 2013

Pendidikan Karakter dan Masa Depan Bangsa.

Pendidikan Karakter dan Masa Depan Bangsa

Upaya meningkatkan sumber daya manusia Indonesia menjadi kajian serius dan berkesinambungan. Berdasarkan kaitan ini tampaknya tugas guru tetap dipertaruhkan mendidik anak bangsa. Pendidikan yang bermutu tidak terlepas dari kurikulum yang diharapkan dapat menanggapi berbagai tantangan dan perubahan lingkungan dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi informasi. Itulah sebabnya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang dilaksanakan dari jenjang sekolah sadar sampai menengah tetap memerlukan pemantauan dan penilaian secara terus-menerus. Untuk mencapai manusia Indonesia yang berkualitas melalui pendidikan tersebut tidak terlepas dari jaringan pendidikan yang saling berkaitan seperti guru, kepala sekolah, organisasi, profesi, kegiatan belajar-mengajar, buku paket, dan kondisi ekonomi, sosial serta politik di masyarakat. Peningkatan mutu tersebut hanya dapat dicapai jika sumber manusianya baik. Guru adalah kunci utama dalam meningkatkan mutu siswa. Guru adalah orang yang mengenal kebutuhan dan perkembangan murid, dan guru juga yang paling terlibat dalam sistem pembelajaran di kelas. Apabila mutu murid merosot maka yang pertama disalahkan adalah guru. Hal ini suatu anggapan yang umum, meskipun kegagalan murid bukan hanya disebabkan faktor guru.

Didaktik Khusus

Tugas guru di samping menguasai bahan yang diajarkan ia juga harus mampu menguasai didaktik atau cara menyampaikan. Sebagai contoh mengapa nilai Matematika gagal karena guru kurang mampu menguasai didaktik. Persoalan serius yang perlu menjadi perhatian bersama saat ini adalah belum adanya didaktik khusus dalam proses belajar-mengajar. Pada tahun 60-an sampai 70-an di kota Medan terkenal dengan tokoh "tukang koyok" yang beroperasi di lapangan Merdeka (kini berubah menjadi Merdeka Walk). Mereka mampu memikat publik pendengar dengan bahasa dan cara-cara mereka menjual obat-obat dan "minyak karuhun".

Publik melihat bagaimana sang tukang koyok menjual minyak untuk penawar bisa ular. Dia membawa seekor ular tiung dan berkali-kali mematuk lidah sang penjual obat. Namun, sang penjual secepatnya membasahi lidahnya dengan minyak karuhun tadi sehingga darah berhenti mengalir dan tanpa menimbulkan bahaya. Setelah itu barulah dia menjajakan barangnya ke sekeliling penonton. Hal inipun dapat dilakukan sekarang ini akan tetapi bukan dengan cara "tukang koyok" Lapangan Merdeka. Dengan kecanggihan teknologi komputer penerbitan buku-buku teks pelajaran dapat dibantu dengan seperangkat gambar dan animasi yang membawa "sang murid" ke dunia konkret" dunia nyata" dan sehari-hari yang berwawasan penerapan (aplikasi). Jadi telah terjadi gabungan antara teori dengan aplikasi.

Perilaku ala "tukang koyok" tadi dapat, menjadi perbandingan guru utuk mengambil pelajaran yakni bagaimana cara yang efektif untuk memikat murid di dalam kelas. Sekarang banyak "barang lama" dilupakan guru di sekolah dasar. Misalnya menghitung dengan membawa lidi ke sekolah. Memajangkan karya anak-anak di dinding sekolah sehingga memotivasi anak lain untuk berbuat yang sama. Di tangan seorang guru yang kreatif bagaimana sebuah pelajaran yang "pahit" dapat disulap menjadi bombon yang nikmat. Alangkah mengherankan bagaimana sebuah kelas bahasa sama suasananya dengan kelas Matematika. Padahal, kelas bahasa seharusnya diwarnai "kegaduhan kreatif karena murid-murid diajar berpidato, berdiskusi, bersanjak atau bersosiodrama.

Kadang-kadang masyarakat tidak sabar dan ingin melihat hasil murid di akhir tahun pelajaran. Padahal sistem pembelajaraan memerlukan penyesuaian, dan mengubah kebiasaan lama kepada yang baru memerlukan waktu. Mengharapkan nilai ujian akhir atau UN (Ujian Nasional) yang tinggi dengan pendekatan kurikulum berbasis kompetensi adalah tidak mungkin. Sama halnya Leonal Messi pesepakbola Barca tidak mungkin produktif menjebol gawang lawan kalau tidak berlatih dan belajar setiap waktu. Semuanya memerlukan proses berkesinambungan. Sejak awal belajar di sekolah dasar sampai murid tamat sekolah adakah guru tidak merasa berdosa meluluskan anak yang tak tahu apa-apa? Hal ini tak ubahnya membiarkan anak di tengah jalan raya, sehingga disambar mobil di tengah jalan setelah tamat sekolah dia tak tahu entah hendak kemana.

Di sini adanya baiknya diangkat kajian Allfin Toffler (1989) tentang dunia pendidikan. Beliau secara tajam telah menyoroti bahwa peristiwa yang terjadi di sekolah, seperti bunyi bel pertanda masuk sekolah, bel ganti pelajaran atau pulang, murid yang duduk dalam barisan kelas, otoritas guru, membuktikan bahwa mereka berada di sekolah dan bukan di luar sekolah. Para lulusan sekolah menjadi golongan produktif yang tidak siap pakai, dan mereka terpaksa sekian bulan bahkan sekian tahun harus dibuang untuk belajar lagi. Sering terjadi bawahan enggan mengeluarkan pendapat, apalagi yang agak berbeda dari atasannya, sebaliknya atasan bersikap menguasai bawahannya. Bukankah hal ini akibat suasana sekolah tadi? Toffler menyatakan, adanya belajar, kerja, pulang kerja, absensi di kantor, hampir dapat dikatakan sebagai duplikat sekolah. Semua serba diatur, semua dilakukan secara pukul rata, secara kodian. Kebebasan yang merupakan induk kreativitas hampir-hampir dilupakan. Inilah yang disebut beliau sebagai pendidikan masa perindustrian dan masa industri sebagai gelombang kesatu dan kedua.

Pendidikan kodian itu mungkin tidak menimbulkan masalah bagi masyarakat praindustri. Namun, semakin dalam ia tercelup dalam lembah industrialisasi dan bakal menunju pendidikan era informasi, pola pendidikan tadi menjadi penghambat. Lalu timbul pertanyaan, pendidikan manakah yang cocok bagi masyarakat modern?

Alfin Toffler menawarkan terapi (efek penyembuhan) yakni sistem pendidikan harus disesuaikan dengan perubahan dan tuntutan zaman antara lain salah satu ciri zaman mendatang ialah pesatnya perubahan. Orang dituntut untuk meramal (berdasarkan informasi, bukan pula harus menujum) dalam mengambil keputusan dari sekian banyak pilihan. Beliau menjelaskan dewasa ini kita masih terlalu terpaku dan mendalami masa lalu, kurang menghayati masa kini, sedangkan masa depan hampir-hampir tak dipedulikan. Akibatnya pandangan murid terhadap masa depan menjadi tak menentu (setelah tamat SMA hendak kemana). Murid bingung mau kemana setelah tamat sekolah.

Tidak mengherankan mengapa kita lebih banyak menguasai dan mudah berbicara tentang masa lalu dibandingkan masa depan. Padahal dalam pantun klasik ada dikatakan: Apa tanda pohon penyengat/ia bersarang di ujung dahan/ Apa tanda orang pengingat / bijak meramal masa depan.

Pendidikan yang berwawasan ke depan akan membuat seorang anak siap menghadapi masa depannya. Pada umumnya ini menurut penelitian ahli psikologi, bahwa pekerjaan seseorang maju pesat jika diberi informasi yang akan datang. Misalnya menjawab pertanyaan sukar dalam ujian, menghadapi permasalahan pribadi, belajar menyetir mobil, dan lain-lain.

Seorang anak, menurut sosiolog Benyamin S Singer, tidak hanya memiliki bayangan dirinya sendiri saat ini, tetapi juga apa yang dicita-citakannya di masa depan.Tokoh masa depan ini akan menarik si anak yang sekarang kearah realisasi cita-citanya tersebut.

Di masa depan, pedidikan tidak hanya terbatas pada jenjang sekian puluh tahun, tetapi dapat belajar seumur hidup. Oleh karena itu, anak tak lagi dituntut belajar sepanjang hari, tetapi belajar sambil bekerja, pendidikan tidak lagi bertumpu di sekolah, dan peranan orang tua semakin besar (pendidikan informal di rumah) sistem belajar akan berubah menjadi lebih kreatif, yakni tidak lagi terutama mendengar ceramah yang panjang dan kadangkala menguras otak habis-habisan. Untuk memulihkan kemampuan daya serap otak telah tersedia obat-obatan dan diet khusus. Orang buta huruf masa depan bukanlah orang yang tidak mengerti membaca atau menulis, tetapi orang yang belum menguasai atau tidak dapat belajar tentang cara belajar.

Guru pengajar tidak harus makhluk hidup atau manusia. Semua mesin pengajar bakal mampu menandingi guru dari segi kecepatan, ketepatan, kerapian sebagaimana yang dilakukan komputer.Yang jelas kelak sebagian besar sistem kehidupan dalam masyarakat akan dijalankan robot atau dengan otomatisasi. Jadi, pekerja yang diperlukan hanya segelintir orang sebagai pengawas. Yang lain dapat menganggur ibarat masa perbudakan dahulu. Namun, perbudakan masa depan bukanlah manusia, yang ada hanya perbudakan mesin-mesin canggih. Mesin-mesin membuat kehidupan lebih manusiawi karena perkerjaan tak manusiawi ditangani oleh mesin. Lalu bagaimana peran pendidikan karakter yang berbasis manusiawi tadi?

Samuel Coocey (pakar pendidikan UNESCO) pernah menyatakan kegagalan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai santun dan bermoral selayaknya diambil alih oleh sekolah. Namun, kenyataan menunjukkan sekolah pun tidak mampu menanggulanginya.

Banyak dunia sekolah yang telah mengecewakan banyak orang negara-negara Afrika bahkan sebahagian di kawasan Asia dewasa ini pendidikan hanya diarahkan untuk menjejalkan mata pelajaran guna menghadapi ujian.

Di sekolah murid yang baik tidak lain hanyalah anak yang dapat mengerjakan pelajaran sekolahnya dengan baik dan berhasil memperoleh angka tertinggi dalam ujian.

Sedangkan hal lain yang dulunya diajarkan juga di sekolah misalnya pendidikan karakter atau moral dan budi pekerti tidak ada waktu diluangkan untuk mengajarkah hal itu sekarang.

Malahan di beberapa sekolah tidak disediakan waktu khusus agar murid-murid dapat melakukan berbagai permainan karena dianggap terlalu banyak menyita waktu, sedangkan waktu yang ada hanya dimanfaatkan agar murid lulus menghadapi ujian akhir. Dengan demikian pendidikan bukanlah jawaban kecuali bila benar-benar merupakan jenis pendidikan yang tepat.

Sebagai penutup dikutipkan sebuah sajak yang indah di bawah ini (Eka Budianta; 1989): Cobalah pada suatu malam membayangkan/menjadi seorang bapak dari dua ratus juta anak/yang berbeda-beda watak dan kegemarannya/cobalah berlaku adil bijak/dan sayang pada mereka/katakanlah, Tuhan akan kecewa bila mereka/saling membenci dan berkelahi/menyusuri jalan yang sunyi di bawah bintang-bintang/masa depan anak-anakmu barangkali bisa terbayang.

No comments:

Post a Comment